REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menilai Rancangan Undang Undang (RUU) Mahkamah Agung (MA) yang disusun atas usul inisiatif DPR mengancam independensi peradilan. RUU tersebut membukan peluang yang sangat besar terjadinya intervensi partai politik terhadap MA dalam mengatur perkara.
"Konsep pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 adalah konsep yang sangat salah kaprah. Konsep tersebut telah menyentuh aspek fungsi yudisial, karena memberi kewenangan bagi DPR untuk mengawasi apakah suatu putusan MA telah melanggar UU atau tidak," ujar peneliti LeIP, Nur Syarifah, pada acara diskusi media briefing: RUU Mahkamah Agung: Ancaman Terhadap Independensi Peradilan' di Jakarta, Selasa (24/4).
Pasal 94 ayat (1) dan (2) berbunyi: "DPR RI melakukan pengawasan terhadap pelaksana undang-undang dan pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung."
Syarifah mengatakan, pengawasan terhadap lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman adalah hal yang amat sensitif dan menjadi pertarungan ketegangan antara prinsip independensi peradilan dengan prinsip akuntabilitas. "Prinsip independensi peradilan berfungsi memastikan peradilan terbebas dari tekanan berbagai pihak dengan cara apapun dan menjadi prasyarat sekaligus jaminan terhadap jalannya peradilan yang adil," paparnya.
DPR sebagai wakil rakyat, lanjut Syarifah, memiliki fungsi pengawasan, yakni pengawasan terhadap lembaga eksekutif. "Jika DPR ingin melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan yang sejalan dengan prinsip independensi dan akuntabilitas, maka pengawasannya hanya terdapat fungsi non-yudisial saja, seperti administrasi kepegawaian, keuangan, dan sejenisnya," katanya.
Sementara itu peneliti LeIP yang lain, Arsil, mengatakan pengesahan RUU ini nantinya akan menjadi peluang bagi DPR untuk mengintervensi para hakim agung. "RUU ini bisa mengurangi kebebasan hakim menyelesaikan suatu sengketa," ujarnya. Jika RUU ini disahkan, nantinya DPR bisa menentukan sebuah putusan bertentangan UU atau tidak. Padahal DPR terdiri dari partai politik.