REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Qoyum Tjandranegara, mengungkapkan adanya kerugian negara sebesar 2,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 20 triliun tiap tahunnya. Kerugian itu akibat aktivitas lifting yang dilakukan PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di Duri, Riau.
Saat ini penyidik satuan khusus (satsus) pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung sedang melakukan penyidikan terkait proyek bioremediasi fiktif PT CPI yang juga berlokasi di Duri. Penyidik pun akan menyelidiki proses lifting tersebut. "Itu nanti kita teliti," kata JAM Pidsus, Andhi Nirwanto yang ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (24/4).
Andhi mengaku kaget dengan pengungkapan fakta dari BPH Migas yang mengatakan negara dirugikan sekitar 20 triliun setiap tahunnya akibat aktivitas lifting Chevron. Ia sendiri malah mengatakan baru mengetahui informasi tersebut.
Saat ditanya apakah proses penyidikan kasus korupsi dalam proyek bioremediasi fiktif Chevron akan dikembangkan kepada kegiatan lifting yang sama-sama dilakukan di Duri, Riau, ia mengatakan hal itu sangat dimungkinkan. Meski penyidik masih fokus dalam menyidik kasus proyek bioremediasi fiktif Chevron yang merugikan negara sebesar 23 juta Dolar AS atau sekitar Rp 200 miliar.
"Mungkin saja, tapi kita masih fokus untuk sementara ini kasus bioremediasi yang ditangani oleh kontraktornya PT CPI," tegasnya.
Sebelumnya, Qoyum menyebutkan soal potensi kerugian negara dalam lifting CPI itu dalam makalahnya. Menurut Qoyum, hal ini menjadi ironi karena masyarakat Indonesia harus dibebani dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mahal. Sedangkan kekayaan energi ini malah dinikmati oleh masyarakat di negara-negara yang mengimpor gas bumi dari Indonesia.