REPUBLIKA.CO.ID, Saya terakhir bertemu beliau Kamis (19/4) siang lalu di istana. Beliau masih seperti biasa saja. Hari itu ada sidang kabinet terbatas membahas pelaksanaan APBN-P yamg dipimpin Presiden SBY. Beliau mewakili menteri ESDM yang berhalangan hadir.
Sebelum sidang beliau terlihat menjelaskan sesuatu kepada Wapres. Lalu mendatangi saya menjelaskan hal yang sama. Rupanya almarhum minta dukungan untuk idenya mengenai BBM. Menurut almarhum, BBM yang diimpor sekarang ini sudah bukan premium lagi sehingga sebenarnya wajar harganya sedikit lebih tinggi.
Yang diimpor sekarang ini sudah lebih tinggi mutunya dibanding premium yang lalu. Ini karena premium model lama sudah tidak diproduksi lagi. Belum sampai penjelasan selesai, presiden SBY masuk ruang sidang. Pembicaraan kami pun terputus. Waktu sidang diskors untuk makan siang, saya tidak satu meja makan dengan beliau sehingga tidak ada kontak lagi.
Beliau memang sering cerita mengenai pendakian ke berbagai gunung yang menjadi hobi beliau. Almarhum termasuk orang yang memegang prinsip dengan kuatnya. Yang menjadi haknya akan dia tuntut sampai berhasil. Tapi kalau bukan haknya almarhum tidak akan mau menerima.
Soal mobil dinas, misalnya, almarhum menuntut karena itu memang haknya. Tapi dia menolak menerima honor tertentu karena merasa bukan haknya. Demikian juga beliau kelihatan jengkel kalau ada orang sok tahu mengenai perminyakan padahal tidak pernah mendalami soal minyak.
Sebagai guru besar perminyakan, penulis buku-buku tentang minyak dan sebagai ahli yang selalu dipercaya perusahaan-perusahaan minyak kelas dunia, almarhum merasa ilmunya dilecehkan oleh orang-orang yang seperti tiba-tiba saja ahli minyak di layar televisi.