Kamis 19 Apr 2012 15:49 WIB

Sosok Sudomo di Mata Abah Alwi

Sudomo
Foto: Edi Yusup/Republika
Sudomo

REPUBLIKA.CO.ID,  Banyak yang mengira bekas panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkambtib) Sudomo sebagai tokoh seram dan menakutkan. Padahal, almarhum Sudomo yang meninggal 18 April 2012 pada usia 86 tahun sebenarnya tokoh yang penuh dengan lelucon dan jenaka.

Selama menjadi wartawan Istana, saya mendapat kesan, Sudomo paling banyak bercanda dengan wartawan daripada pejabat lain. Baik saat menunggu diterima Presiden Soeharto di Bina Graha atau Istana maupun seusai melaporkan hasil pertemuannya.

Canda dan gurauan laksamana berbintang empat yang pernah memimpin Kopkamtib, instansi paling ditakuti, ini membuat para wartawan kerap tertawa terbahak-bahak. Ini yang membuat tidak ada rasa takut atau sungkan untuk bertanya hal apa pun kepadanya. Dia juga selalu terbuka menjawab pertanyaan wartawan.

Meski yang ditangani masalah-masalah serius, tidak alasan untuk tidak tertawa mendengar leluconnya. “Jelek-jelek begini, banyak yang antre jadi istri,” kata Sudomo suatu ketika di press room Istana. Kalau ditanya berapa usianya, seraya bercanda dia akan menjawab, “Di atas boleh umur sekian, tapi di bawah masih 30-an tahun.”

Begitu bebas tugas sebagai kepala staf TNI AL, wartawan bertanya apa yang akan dilakukannya. Laksamana Sudomo dengan berkelakar menjawab, “Saya mau mendirikan night club saja.” Tapi, tak lama Presiden Soeharto memberinya tugas sebagai kepala staf Komkamtib. Ketika itu, panglimanya adalah Jenderal Soemitro yang berperawakan gempal. 

Saya masih ingat, sebelum peristiwa Malari pada 1974, Jenderal Soemitro kerap mendatangi universitas-universitas dan memberikan pengarahan yang dianggap menyulitkan Pak Harto. Ketika menghadap Pak Harto di kediamannya di Jalan Cendana, Jenderal Soemitro membantah tegas adanya rumor dan upaya menjatuhkan Presiden. Tapi, beberapa saat setelah Malari, Sumitro lengser dan digantikan Sudomo.

Pada 1970-an, pro-kontra perjudian SDSB merebak di masyarakat. Apalagi, ketika Soedomo menggelar operasi tertib (opstib) di berbagai bidang, termasuk perjudian. Orang membuat pemeo SDSB sebagai singkatan “Sudomo Datang Semua Beres’. Pak Domo tertawa dan terbahak mendengar celotehan semacam itu. Dia sendiri rupanya bangga hingga sering menyebutkan celotehan itu di berbagai tempat.

Sudomo dikenal sebagai pekerja keras. Ketika menjadi menteri Tenaga Kerja, dia bangun pukul 05.00 WIB dan satu jam kemudian sudah di kantor. Ini tentu saja membuat pegawai dan pejabat di departemennya menjadi kelimpungan karena menteri sudah siap di kantor pagi-pagi sekali.

Yang mengagetkan adalah ketika Sudomo yang masih menjabat menteri melaporkan rencana pernikahannya kepada Presiden di Cendana. Dia juga mengundang wartawan. Spontan, ada wartawan yang mengatakan bahwa dia tidak memiliki jas untuk pesta perkawinannya. Pak Domo langsung memerintahkannya untuk mengukur jas di Jalan Hayam Wuruk (Casmo Tatilitofa–catatan ringan wartawan Istana).

Menurut Casmo, sejak beribadah haji, Pak Domo selalu melengkapi dengan pelukan setiap bersalaman dengan wartawan. Saya yang sudah tidak lagi bertugas di Istana sejak 1976 jarang bertemu Pak Domo.

Suatu ketika, saya berkunjung ke Bogor, Jawa Barat. Saya shalat di masjid yang terletak di sebuah perdesaan. Masjidnya cukup bagus dan sedikit megah. Menurut para jamaah setempat, masjid ini dibangun Pak Domo. Selamat jalan Pak Domo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement