REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan sistem dalam menjalankan proyek negara di Kementerian Kesehatan tidak sehat. Proses pengadaan menjadi salah satu yang rawan korupsi.
"Dari kasus yang ditangani KPK (termasuk korupsi di Kementerian Kesehatan), hampir 70 hingga 80 persen itu tentang pengadaan barang dan jasa. Itu memang rawan terjadinya korupsi, terutama yang jumlahnya besar," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di kantornya, Rabu (18/4).
Untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dalam proyek kenegaraan, KPK menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
KPK dan BPKP tengah mengembangkan koordinasi dan supervisi yang difokuskan pada tiga bidang, yaitu penganggaran, pelayanan publik, dan pengadaan barang. "Kami tengah membangun kerjasama itu antara KPK dan BPKP di 33 provinsi di Indonesia," kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjodjanto.
Menurut Bambang, inti dari kerjasama itu adalah KPK dan BPKP merancang pemetaan masalah rawan korupsi dalam tiga bidang itu, di setiap provinsi. Kerjasama itu juga akan membenahi sistem pada bidang penganggaran, pelayanan publik, dan pengadaan barang yang selama ini dinilai rawan dengan praktik tindak pidana korupsi.
"Nah, nanti akan terbangun sistem integritas nasional. Ini bisa jadi salah satu cara efektif dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi," kata Bambang.
Wakil Menteri Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengakui sistem administrasi di Kemenkes "tidak sehat" dengan adanya kasus-kasus korupsi yang terjadi di dalam kementerian tersebut. Ali mengatakan, kasus-kasus yang terjadi di dalam Kemenkes pembelajaran untuk menerapkan mekanisme dan sistem yang lebih aman.
"Setiap menteri di akhir jabatannya seperti itu (dipenjara). Itu sistemnya yang tidak sehat. Jadi, sistem harus diperbaiki sedemikian rupa. Jangan sampai kita siang, malam, pagi memikirkan rakyat, kemudian di akhir jabatan kita masuk penjara,” ujarnya kepada wartawan di Istana Negara.