REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Empat orang terdakwa kasus pembantaian monyet bekantan dan orang utan di Desa Puan Cepak, Muara Kaman, kawasan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur akhirnya menjalani sidang. Dalam sidang tersebut, keempatnya hanya dijerat dengan ancaman hukuman selama satu tahun.
Karena rendahnya ancaman hukuman itu, Centre for Orangutan Protection (COP) pun melakukan aksi unjuk rasa di depan Kejaksaan Agung. Untuk menunjukan keprihatinan, salah satu peserta aksi unjuk rasa bahkan ada yang mengenakan kostum orang utan.
"Tuntutan jaksa pada persidangan kasus pembantaian orang utan di PN Tenggarong terlalu ringan," kata Juru Kampanye COP, Daniek Hendarto yang ditemui saat berlangsung aksi unjuk rasa di depan Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (13/4).
Keempat terdakwa yang menjalani persidangan diantaranya Senior Estate PT Khaleda Agroprima Malindo (KAM), Phuah Chuan, Kepala Divisi Selatan PT KAM, Widiantoro, serta Imam Muhtarom dan Mujianto.
Phuah Chuan dan Widiantoro bertindak sebagai penganjur atau penyuruh, sedangkan Imam dan Mujianto adalah warga yang disuruh mengeksekusi mati hewan tersebut.
Daniek menambahkan ringannya tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), dikhawatirkan akan mempengaruhi dua persidangan pembantaian orang utan lainnya yaitu pembantaian yang dilakukan perusahaan kelapa sawit PT Sabhantara Rawi Santosa dan PT Prima Cipta Selaras di Kaltim.
Jaksa Penuntut Umum Suroto dan Catur Widi S, menyampaikan tuntutan terhadap Phuah dan Widiantoro yaitu penjara 1 tahun, dengan denda Rp 50 juta, subsider 6 bulan kurungan. Sedangkan Imam dan Mujianto dituntut 1 tahun, dengan denda Rp 20 juta, subsider 6 bulan kurungan.
"Hukuman yang terlalu ringan, akibatnya kejahatan yang sama akan terus berulang karena tidak menimbulkan efek jera," tegasnya.