REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat empat poin bermasalah dalam RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS) yang akan diparipurnakan DPR pekan ini.
Poin tersebut diharapkan segera diperbaiki sehingga RUU ini tidak mengurangi wewenang lembaga negara tertentu.
Koordinator Kontras, Haris Azhar, menyatakan definisi konflik sosial masih mencampuradukkan terma konflik sosial dengan tawuran antar kampung. Sedangkan dimensi konflik kesukuan, bahkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) secara umum, diabaikan.
"Konflik yang kerap terjadi belakangan ini pasti berkaitan dengan SARA. Ini harus diperhatikan," jelasnya, saat dihubungi, Selasa (10/4).
Kedua, DPR dinilainya ceroboh untuk memasukkan pasal 7 terkait dengan ukuran memelihara kondisi damai, dengan menggunakan definisi Pasal 5 tentang sumber konflik sosial.
Menurutnya, hal ini adalah contoh kemalasan anggota DPR untuk memeriksa produk perundang-undangan atau kebijakan lain yang terkait dengan kebijakan pengelolaan tanah dan sumber daya alam, isu perburuhan, penanganan kemiskinan, jaminan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Ketiga, potensi dalam pasal 8 terkait pengembangan penyelesaian perselisihan secara damai dengan mengedepankan mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) hendaknya tidak meminimalisir proses penegakan hukum (law enforcement). Prinsip yang harus ditegakkan harus tetap rule of law. Praktik kejahatan-kejahatan serius harus diproses negara. Pelakunya harus diseret ke meja pengadilan, demi tegaknya nilai-nilai keadilan.
Keempat, RUU ini juga masih berantakan dalam menempatkan ruang koordinasi antar sektor keamanan. Hadir kesan sektor keamanan diberikan kewenangan serta merta melalui keputusan politik lokal.
Pasal ini dapat digunakan untuk kepentingan tertentu, dengan motif yang sudah bisa bayangkan bersama, misalnya pemilukada dengan awalnya menggunakan sentimen konflik. Namun, berujung pada penerapan situasi khusus dan penguasaan situasi lewat institusi keamanan atau militer.
"Sedangkan mobilisasi militer hanya boleh dilakukan secara sentralistik oleh Presiden dengan persetujuan DPR," jelas Haris. "DPR harus lebih serius menggodok RUU ini. Jangan sampai nantinya malah diujimaterikan di MK."