REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Sebanyak 28 hakim yang tergabung dalam Gerakan Hakim Progresif Indonesia menggelar audiensi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar, Selasa (10/4). Mereka merupakan hakim yang terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara dari daerah yang menuntut pemenuhan hak konstitusional yang selama ini terabaikan. Hadir juga sebagai fasilitator mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.
Pada audiensi itu, para hakim meminta penegasan status sebagai pejabat negara kepada Azwar. Termasuk dibedakannya hakim dari PNS. Ini mengacu kepada PP Nomor 41/2002 tentang kenaikan jabatan dan pangkat hakim.
Juru bicara Gerakan Hakim Progresif Indonesia, Wahyu Sudrajat mengatakan, dibedakannya hakim dengan PNS itu untuk menindaklanjuti kritikan mengenai posisi hakim. Sehingga, kehakiman tidak bisa dikendalikan pemerintah.
‘’Tapi kenyataanya kami kerap dianggap sebagai PNS. Bahkan, kesejahteraan kami pun disamakan atau malah lebih rendah ketimbang PNS. Ini seperti kami sebagai harimau yang dipaksa jadi kucing,’’ katanya di kantor Kemenpan dan RB, di Jakarta, Selasa (10/4).
Dari sisi kesejahteraan, gaji hakim saat ini malah ada di bawah PNS. Jika dibandingkan, hakim golongan 3A nol tahun gajinya lebih kecil Rp 87.500 ketimbang PNS 3A nol tahun. Padahal, cerita dia, pemerintah pada 1994 sengaja membedakan aturan gaji pokok hakim dan PNS.
‘’Awalnya perbedaan gaji pokok hakim dan PNS 100 persen. Memang setelahnya ada kenaikan gaji pokok tapi hanya sampai 2008. Itu terakhir kali kami naik gaji. Besarannya beda. Misalnya PNS naik 20 persen, kita naik lima persen. Jadi sekarang gaji PNS lebih besar,’’ papar hakim PN Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan.
Ia pun mengeluhkan mengenai semakin hilangnya kewibawaan hakim di mata masyarakat dan pemerintah daerah. Penyamaan hakim dengan PNS dinilainya sebagai salah satu pendorong hal itu.