REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowadigdo mewacanakan mencampur premium dengan pertamax. Hal ini dilakukan guna mengatasi persoalan disparitas harga yang lebar antara premium yang dijual Rp 4.500 per liter dan pertamax yang dijual Rp 10.200 per liter.
Menanggapi hal ini, anggota komisi VII DPR RI Satya W Yudha mengatakan usulan ini sebenarnya bisa diterapkan. "Tapi rentan," katanya. Menurutnya persoalannya ada di harga. Pemerintah harus siap betul menjaga masyarakat agar tidak bingung membedakan mana bahan bakar yang disubsidi dan mana yang non-subsidi.
"Kalau RON 90 dianggap kategori non-subsidi itu bebas-bebas saja," katanya. Tetapi kalau ternyata ini juga disubsidi, harus ada aturan khusus. "Kalau pemakaian dibebaskan, yang kita khawatirkan pemakai pertamax juga akan lari ke sini," ujarnya. Sehingga volume permintaan premium yang menjadi bagian bahan bakar campuran ini tetap tidak terjaga.
Lebih lanjut ia menilai, pembuatan kartu pengendali dipandang lebih optimal meminimalisir penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi. "Kartu ini akan diberikan kepada orang-orang yang berhak saja, jadi kalau nggak boleh menggunakan premium ya tidak diberi," katanya.
Dengan ini, volume premium yang digunakan bisa dikontrol.
Sebelumnya ide ini pernah direalisasikan di Bintan, Kepulauan Riau oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Namun sayangnya tidak optimal.