REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan anak di luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dinilai masih memerlukan penyempurnaan melalui amandemen di parlemen.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Sonny Dewi Judiasih dalam seminar nasional "Kedudukan Anak Luar Kawin Setelah Keluarnya Putusan MK" yang diselenggarakan di kampus Universitas Padjajaran, Bandung, Selasa, mengatakan amandemen tersebut diperlukan karena seharusnya keputusan MK tersebut hanya berlaku bagi anak luar kawin dari perkawinan yang tidak tercatat.
"Ini mengingat pemohon uji materil dari UU Perkawinan tersebut adalah pelaku perkawinan yang tidak tercatat karena sesuatu hal," ujar Sonny.
MK melalui keputusan No 46/PUU-VIII/2010 telah mengubah pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjadi "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."
Sonny mengatakan perubahan pasal itu seharusnya menyebutkan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat sehingga bunyinya menjadi "Anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak dicatatkan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."
Karena, menurut dia, terdapat berbagai kategori anak luar kawin seperti anak di luar perkawinan yang tidak tercatat, anak hasil hubungan tanpa ikatan perkawinan, serta anak dari hubungan insidentil seperti pemerkosaan dan praktik seks komersial.
Keputusan MK yang dikeluarkan pada Januari 2012 itu telah memicu kontroversi karena dikhawatirkan bisa memberi pengakuan terhadap berbagai hubungan tidak sah dipandang dari sisi agama dan norma sosial.
Meski keputusan MK bersifat final dan mengikat, Sonny berharap UU Perkawinan hasil perubahan di MK bisa diamandemen kembali di parlemen. "Keputusan MK masih harus dikoreksi dengan berbagai cara dan jangan berlangsung lama karena banyak permasalahan yang timbul dari keputusan tersebut," ujarnya.
Keputusan MK itu, lanjut dia, telah menimbulkan berbagai masalah hubungan seperti status anak luar kawin terhadap bapak biologis dan keluarganya, status anak luar kawin terhadap anak kandung bapak biologisnya, serta kedudukan anak luar kawin terhadap pewarisan.
Sonny juga menilai keputusan MK tersebut telah menjungkirbalikkan tata hukum yang sudah mapan karena konstitusi dalam pasal 28B ayat 1 yang ditegaskan kembali dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan setiap orang mempunyai hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui suatu perkawinan yang sah.
"Jadi perkawinan yang sah itu adalah prinsip yang utama, sedangkan perkawinan yang sah menurut aturan hukum adalah yang menurut ketentuan agama dan tercatat dalam administrasi negara. Itu harus dibaca dalam satu helaan nafas," tuturnya.
Kitab Hukum Undang-undang Perdata, lanjut dia, juga telah mengatur dalam pasal 272 dan pasal 238 bahwa anak-anak yang dibenihkan dari zina tidak dapat disahkan dan diakui.