REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Langkah pemberian kompensasi kenaikan harga BBM berupa bantuan langsung sementara (BLSM) yang digagas pemerintah diganggap tidak bijak. Bantuan ini ditakutkan tidak tepat sasaran karena ketidakjelasan data penerima bantuan.
Pengamat ekonomi, Aviliani menyatakan, berdasarkan pengalaman pemberian bantuan langsung tunai (BLT) beberapa waktu lalu, terlihat bahwa pemerintah tidak siap secara data. "Orang yang mengaku miskinnya makin banyak karena kita belum punya data yang lengkap tentang masyarakat miskin," katanya, Jumat (30/3).
Dengan ketidakjelasan data tersebut, akhirnya dana yang disediakan pemerintah hanya akan sia-sia dan tidak tepat sasaran. Lagipula menurutnya, masyarakat tidak butuh uang tunai. Mereka bisa memilih bantuan sosial bersyarat.
Selain itu, kepala daerah dan kementerian biasanya sudah memiliki anggaran kemiskinan sendiri yang bisa digunakan. "Sehingga langkah pemberian BLSM tidaklah bijak," katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan pengamat ekonomi, Tony Prasetyantoko. Menurutnya, pemberian bantuan langsung sementara hanyalah sebuah kemasan politik belaka.
Hal itu lanjutnya, tidak signifikan untuk untuk menstabilkan ekonomi, karena hanya akan memperbaiki daya beli masyarakat yang menurun sementara waktu.
"Selain itu, Amerika saja yang sistem kependudukannya sudah benar, tetap saja tidak bisa maksimal. Apalagi Indonesia yang sistem kependudukan masih kacau," ujarnya.
Dana tersebut menurutnya, lebih baik digunakan untuk stimulus infrastruktur. "Akan jauh lebih besar pengaruh positifnya. Karena dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dan bisa menampung lebih banyak dana investasi yang masuk ke tanah air," ujarnya.
Sebelumnya, Badan Anggaran DPR dan pemerintah sepakat untuk mengalokasikan dana untuk kompensasi perubahan besaran subsidi sebesar Rp 30,6 triliun. BLSM yang semula dianggarkan sekitar Rp 25 triliun hanya disetujui Rp 17,8 triliun.