REPUBLIKA.CO.ID, YOGYoKARTA -- Konflik agraria di Indonesia meningkat cukup signifikan, karena tidak adanya kepastian hukum. Hal ini disampaikan pengamat ekonomi pertanian dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Masyhuri, kemarin.
"Pada 2011 konflik agraria yang terjadi sebanyak 163 kasus, meningkat dibandingkan dengan 2010 yang hanya 106 kasus," katanya dalam satu simposium di Yogyakarta.
Menurut dia, konflik tersebut terjadi akibat tidak adanya kepastian hukum, karena terdapat dualisme peraturan, yakni hukum nasional dan hukum adat. "Selain itu, juga adanya ketimpangan dalam penguasaan tanah. Petani rata-rata hanya mengolah lahan kurang dari setengah hektare, seharusnya minimal dua hektare seperti yang diamanatkan undang-undang (UU)," katanya.
Sementara itu, konflik agraria juga menuntut peran dari pemerintah daerah untuk menanganinya. Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Isran Noor, mengatakan tuntutan peran optimal pemerintah daerah untuk mengurusi admnistrasi pertanahan semakin menguat, karena semakin sering muncul konflik agraria tersebut.
"Oleh karena itu, diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang berhadapan langsung dengan masalah konflik hak-hak atas tanah," katanya.