REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Hampir 80 persen indikasi penyakit yang sering diderita masyarakat tercakup pada obat generik. Dengan adanya obat generik ini, diharapkan masyarakat bisa menjangkau kebutuhan akan obat esensial tersebut.
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, Maura Linda Sitanggang, mengatakan sebenarnya bahan baku, alat bahkan produsen obat generik itu sama dengan obat branded. "Perbedaannya adalah obat generik tidak dipromosian sehingga tidak ada biaya promosi," ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (24/3).
Menurunya, obat generik tidak dipromosikan produsen karena selain adanya logo generiknya, namanya harus sama dengan zat aktif yang terkandung di dalamnya seperti yang tercantum pada komposisinya. "Siapapun produsennya, namanya disesuaikan dengan zat aktif kandungannya," ujarnya.
Menurutnya, Kemekes setiap enam bulan sekali akan melakukan monitoring harga obat di pasaran secara sampling ke apotik, baik itu melalui survei maupun pengecekkan di laboratorium.
Mengenai penyesuaian harga 498 jenis obat generik yang ditetapkan bulan lalu, ia menjelaskan bahwa penyesuaian tersebut merupakan bentuk pengendalian dari Kemenkes. "Hal itu sudah melalui pertimbangan macam-macam, seperti harga bahan baku, energi, distribusi, upah minimum regional (UMR), dan kemungkinan margin keuntungan untuk perusahaan," ujarnya.
"Penyesuaian itu untuk merasionalisasikan harga obat generik, agar produsen tidak rugi. Kita menjaga jangan sampai stok obat kosong karena tidak ada yang memproduksi," paparnya.
Ia juga mengatakan saat ini volume obat generik kita baru mencapai 40 persen, dan diupayakan untuk terus ditingkatkan.
"Negara kita out of pocket-nya terlalu banyak, masing-masing konsumen membeli sendiri-sendiri. Semoga saat Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diberlakukan, diharapkan semua ada dalam pendekatan sistem. Obat Generik menunjukkan cost effective dalam SJSN," katanya menandaskan.