REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Seribuan massa dari Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM, Kamis (22/3), di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta Pusat. Dalam aksinya pengunjuk rasa membawa sejumlah spanduk yang berisi kritik pada pemerintah.
"Liberalisasi Migas: rakyat buntung asing untung. Sebentar lagi bensin di Indonesia semuanya Bensin campur. Sedia bensin campur; campur penderitaan rakyat, campur kebohongan penguasa, campur tangan asing. Tolak kenaikan BBM tolak liiberalisasi Migas. Kenaikan BBM aspirasi rakyat? Bohong!" demikian isi sejumlah spanduk mereka.
HTI menuding pemerintah telah berlaku zalim kepada rakyat, bila bersikukuh menaikan harga BBM. "Kami menilai kebijakan ini (menaikan BBM) adalah zalim dan khianat," kata Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto.
Ismail mengatakan menaikan harga BBM menjadi kebijakan yang zalim karena menyengsarakan kehidupan rakyat. Pemerintah sebenarnya menurut Ismail tahu bahwa jumlah warga miskin akan bertambah sebanyak 5 juta bila BBM dinaikan. "Pertanyaannya kalau sudah tahu membuat rakyat sengsara kenapa diteruskan?" tanya Ismail heran.
Ismail menengarai alasan pemerintah menaikan harga BBM demi penyelamatan APBN tak lebih dari retorika kebohongan. Dia menjelaskan penerimaan migas Indonesiap cukup besar. Dalam APBN 2012 tercantum pendapatan minyak bumi Rp 113,68 triliun, gas alam Rp 45,7 triliun, minyak mentah Rp 10,72 triliun dan PPh migas Rp 60,9 triliun, jadi total semua Rp 231,09 triliun.
Logikanya, kata Ismail, bila harga minyak dunia naik, berarti pendapatan pemerintah melalui migas juga akan naik. Kenaikan itu sendiri dalam RAPBN-P 2012 disebut-sebut mencapai 270 triliun. Sehingga pemasukan migas akan naik sekitar Rp 40 trilun bila dibandingkan total pendapatan sektor Migas dalam APBN 2012. Ini berarti, kata dia, jika pemerintah beralasan menaikan harga BBM supaya subsidi tidak membengkak dari 123 triliun menjadi 170 triliun, pemerintah hanya tinggal menambah subsidi Rp 7 triliun.