Jumat 16 Mar 2012 16:27 WIB

Pemilukada Papua, Kemendagri Imbau DPRP Gugat ke MK

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Hazliansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai pemilihan langsung kepala daerah (pemilukada) di Papua tidak cocok dengan kultur dan kebiasaan masyarakat setempat. Karena itu, proses pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur, lebih baik diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) selaku perwakilan masyarakat Papua.

Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, pihaknya sudah melakukan perubahan sistem pemilukada Papua dengan memasukkannya dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. Karena belum bisa ditargetkan kapan berlakunya aturan tersebut maka pihaknya menyarankan agar perwakilan pemerintah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ini lantaran masa jabatan pelaksana tugas (Plt) Gubernur Papua Syamsul Arief Rivai habis pada 25 Juli 2012. Karena tidak bisa diperpanjang lagi, kata dia, maka harus dilakukan pemilihan untuk mencari gubernur baru periode 2012-2017. Pihaknya berharap, kalau bisa pemilihan gubernur (pilgub) tidak dilakukan langsung melainkan cukup dipilih DPRP. “Karena berakibat pada munculnya kubu-kubuan dan masyarakat terkotak-kotak akibat mendukung calon tertentu,” kata Djohermansyah di kantornya, Jumat (16/3).

Atas dasar itu, pihaknya mengimbau Majelis Rakyat Papua (MRP) atau DPRP untuk mengajukan gugatan tentang pemilukada. Sehingga materi yang diajukan adalah judicial review Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Pasal 7 Ayat 1 yang mengatur tentang pemilihan langsung. Pemohon, sarannya, diminta agar MK mengeluarkan keputusan agar pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur, kembali ke model lama yang diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Pasalnya jika langkah itu tidak dilakukan maka risikonya pilgub tetap digelar pemilihan langsung. Konsekuensinya anggaran yang dihabiskan mencapai Rp 400 miliar dan belum tentu hasil pemilukada diterima masyarakat Papua. Adapun kalau pemilihan dikembalikan kepada DPRP hanya membutuhkan anggaran Rp 10 miliar, dan sisa Rp 390 miliar bisa digunakan untuk pembangunan sarana kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.

Selain menciptakan kubu-kubuan akibat warga mendukung calonnya, imbuhnya, juga menciptakan ketidakstabilan keamanan akibat pecahnya hubungan persaudaraan di antara mereka. Padahal di Papua sebelum dilakukan pemilihan langsung, masyarakatnya tidak pernah masyarakat melakukan aksi pengrusakan, pembakaran, dan pembacokan yang mengakibatkan jatuhnya korban. “Inilah yang kami coba antisipasi. Karena masyarakat Papua tidak siap dengan model pemilihan langsung,” ujar Djohermansyah.

Dijelaskannya, kedudukan hukum (legal standing) yang diajukan adalah pemilihan langsung tidak sesuai budaya asli warga Papua. Alasannya, orang Papua yang termasuk ras Melanesia lebih cocok melalui model kekerabatan akibat kuatnya kesukuan penduduk di Bumi Cenderawasih. Apalagi masyarakat di sana lebih percaya kepada kepala suku daripada pimpinan parpol. Sehingga suara warga di suatu distrik pasti mengikuti pilihan kepala suku. “Kalau dipaksakan pemilihan langsung, lebih banyak unsur negatifnya. Kultur Papua memang berbeda dengan pemilihan daerah lain,” kata Djohermansyah.

Juru Bicara MK Akil Mochtar menyilakan DPRP maupun Kemendagri untuk melakukan gugatan terkait model pemilihan langsung atau tidak langsung untuk diterapkan dalam Pilgub Papua. Yang jelas, katanya, MK tidak mengajak orang untuk beperkara di MK. “Mau pemilihan langsung atau DPRP itu pilihan politik saja, bukan suatu kekhususan,” jelas Akil.

Menurut Akil, kalau benar mengajukan gugatan ke MK, hanya dapat melalui dua cara. Yakni, uji materi UU terhadap UUD 1945 atau sengketa kewenangan lembaga Negara (SKLN). “Kalau soal ini nanti kita lihat, karena sudah masuk materi perkara,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement