Ahad 11 Mar 2012 12:27 WIB

DPR Disarankan Perketat Kehadiran Anggota dalam Persidangan

REPUBLIKA.CO.ID, LOBOK BARAT, NTB - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hajriyanto Y Thohari mengatakan, Dewan Perwakilan Rakyat perlu memperketat kehadiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan, melalui aturan baru.

"Saya berharap segera dibuatkan aturan baru yang sifatnya lebih sistemik atau 'by system' yang lebih memperketat kehadiran anggota DPR," kata Thohari, di Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Ahad (11/3), ketika dimintai tanggapannya terkait ketidakhadiran sejumlah anggota DPR dalam sidang-sidang di Senayan, yang belakangan ini dipersoalkan.

Thohari berada di NTB guna menyosialisasikan implementasi TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang digelar di Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (10/3).

Sosialisasi itu merupakan bagian dari "press gathering" atau pertemuan pers yang digelar di wilayah NTB, 9-11 Maret 2012. Peserta diskusi merupakan pimpinan dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) beserta wartawan parlemen atau wartawan yang meliput di MPR, DPR dan DPD yang jumlahnya mencapai 99 orang.

Thohari mengatakan, Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), masih lemah dalam mengatur kehadiran anggota DPR.

Dalam UU Susduk itu, cuma disebutkan bahwa jika enam kali tidak hadir secara fisik berturut-turut tanpa alasan maka dapat diberikan sanksi oleh Badan Kehormatan (BK).

Ketidakhadiran selama enam kali berturut-turut itu pun untuk sidang sejenis seperti tidak menghadiri sidang paripurna selama enam kali berturut-turut, atau sidang komisi, sidang pansus dan sidang-sidang lainnya secara berturut-turut.

Namun, jika disela-sela salah satu jenis persidangan itu anggota DPR menghadiri sidang lainnya maka sanksi tidak berlaku. Dengan demikian, jika anggota DPR tidak menghadiri sidang paripurna hampir enam kali, lalu menghadiri salah satu jenis sidang lainnya, maka yang bersangkutan luput dari sanksi BK.

"Itu terlalu longgar dan sistem yang berlaku tidak mendukung kehadiran maksimal anggota DPR. Menurut saya sistem yang dijalankan di DPR sekarang ini memang sangat lemah," ujarnya.

Selain itu, kata Thohari, kewenangan BK juga harus dipertegas dalam menyikapi ketidakhadiran anggota DPR dalam berbagai persidangan. Delik aduan yang menjadi dasar bagi BK untuk menyikapi indikasi pelanggaran anggota DPR, merupakan kendala serius karena BK baru bisa bekerja jika ada pengaduan.

"Semestinya BK diberi kewenangan yang tidak harus didasarkan pada delik aduan, selama ini BK bergerak setelah ada pengaduan atau bersifat pasif. Harusnya memiliki kewenangan aktif atau boleh meneliti dan memeriksa absensi anggota DPR hingga pemberian sanksi jika ada indikasi pelanggaran," ujarnya.

Karena itu, Thohari menyarankan eksekutif dan legislatif segera membuat sistem yang mengatur kehadiran anggota DPR secara tepat, rinci dan tegas sehingga dapat ditindaklanjuti BK jika mencatat pelanggaran.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement