Jumat 09 Mar 2012 16:39 WIB

RUU Perampasan Asset Selesai 80 Persen

Rep: mansyur faqih/ Red: Taufik Rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Muhammad Yusuf mendorong agar DPR mendukung RUU Perampasan Aset yang draft-nya tengah disusun saat ini. Pasalnya, jika jadi diterapkan subtansi aturan itu dinilai dapat mengembalikan aset negara yang dikorupsi.

Salah satu subtansi RUU itu disebut Yusuf yakni merampas aset yang tak bisa dibuktikan asal usulnya. Antara lain, jika ada harta yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak atau Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Maka penegak hukum dapat mempertanyakan asal usul harta itu.

''Misalnya ada penyelenggara negara punya rumah di Pondok Indah, mobil Mercy atau Volvo. Itu akan ditanya dari mana dapatnya. Kalau tidak bisa menjelaskan, akan dirampas negara tanpa memenjarakan pemiliknya,'' kata Yusuf, di gedung DPD, Jakarta, Jumat (9/3).

Saat ini, tambahnya, PPATK tengah melakukan pembahasan RUU itu dengan kementerian terkait dan telah mencapai 80 persen. Diharapkan, RUU itu akan masuk ke pembahasan di DPR tahun ini.

Ia menilai, adanya undang-undang ini penting karena UU Tindak Pidana Pencucian Uang masih memiliki kendala dalam merampas aset negara. Dengan begitu, adanya undang-undang ini akan melengkapi aturan-aturan yang sudah ada di UU TPPU.

Salah satu kelemahan pada UU TPPU, yaitu Jika aset yang mencurigakan tersebut tidak dimasukkan dalam dakwaan, kata dia, hakim tidak dapat memutuskan untuk disita. ''Contohnya putusan untuk terdakwa Hakim Syarifuddin Umar oleh Pengadilan Tipikor Jakarta,'' ucap Yusuf.

Di kasus itu, ujar Yusuf, kepemilikan uang asing sebesar enam ribu dollar AS, 245 ribu dollar Singapura, 20 ribu yen Jepang, 12.600 riel Kamboja, dan 5.900 bath Thailand tidak disita lantaran tidak dimasukkan dalam dakwaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement