REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Amnesty Internasional minta kepada Pemerintah Indonesia menerapkan undang-undang yang melarang segala bentuk mutilasi kelamin perempuan.
Permintaan Amnesty Internasional itu disampaikan Josef Roy Benedict, Campaigner - Indonesia & Timor-Leste Amnesty International Secretariat kepada ANTARA London, sehubungan dengan Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret.
"Amnesty International menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mencabut peraturan pemerintah 2010 yang mengizinkan 'sunat perempuan,'" ujarnya.
Pihak berwenang juga harus menghapuskan praktik berbahaya ini dengan menerapkan undang-undang khusus dengan hukuman yang sesuai yang melarang segala bentuk mutilasi kelamin perempuan (female genital mutilation/ FGM)
Akhir bulan ini, Amnesty International akan mengirim petisi dari Jaringan Pemuda Asia Pasifik (Asia Pacific Youth Network-APYN) dan aktivis di lebih dari 30 negara dan wilayah, termasuk dari Indonesia.
Amnesty Internasional yang bermarkas besar di London itu mengharapkan pemerintah Indonesia untuk mencabut peraturan 2010 tentang 'sunat perempuan' dan menerapkan undang-undang spesifik untuk melarang praktik tersebut.
Mereka menggemakan panggilan dari lebih dari 130 organisasi nasional, regional dan internasional pada tahun 2011 untuk mengakhiri praktik mutilasi kelamin perempuan di Indonesia.
Pada bulan November 2010, Kementerian Kesehatan Indonesia mengeluarkan peraturan yang melegitimasi praktik mutilasi kelamin perempuan dan memberi otoritas pada pekerja medis tertentu, seperti dokter, bidan dan perawat, untuk melakukannya.
Sebuah laporan pada bulan November 2011 yang dikeluarkan kelompok kerja pra-sesi Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), menyatakan peraturan pemerintah 2010 tentang 'sunat perempuan' sebagai 'kemunduran dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan'.
Komite ini meminta pemerintah Indonesia untuk menjelaskan langkah yang diambil untuk mencabut peraturan ini dan untuk menghapuskan praktik mutilasi kelamin perempuan yang kembali muncul di Indonesia.
Dalam tanggapannya, pemerintah Indonesia mengatakan bahwa peraturan tersebut tidak boleh dengan cara apapun dapat dianggap sebagai mendorong atau mempromosikan praktik mutilasi kelamin perempuan.
Menteri Kesehatan akan meninjau pelaksanaan peraturan ini dengan tujuan untuk memastikan kepatuhan dengan Konvensi CEDAW. Indonesia akan melakukan pelaporan kepada Komite CEDAW pada sidang ke-52 nya pada bulan Juli mendatang.
Amnesty International khawatir bahwa peraturan 2010 membenarkan dan mendorong mutilasi kelamin perempuan, sebuah praktik yang menimbulkan rasa sakit dan penderitaan terhadap perempuan dan anak perempuan, dan karenanya melanggar larangan mutlak terhadap penyiksaan dan penganiayaan.
Efek fisik dari mutilasi kelamin perempuan dapat termasuk rasa sakit, shock, pendarahan, kerusakan pada organ sekitar klitoris dan labia serta infeksi.
Efek jangka panjang termasuk infeksi kronis kepada saluran kemih, batu dalam kandung kemih dan uretra, kerusakan ginjal, infeksi saluran reproduksi akibat terhambatnya aliran menstruasi, infeksi panggul, infertilitas, jaringan parut yang berlebihan, keloid (dibangkitkan, berbentuk tidak teratur, semakin memperbesar bekas luka) dan kista dermoid.
Sebuah survey tahun 2009, di seluruh Indonesia, tentang mutilasi kelamin perempuan, yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Kependudukan dan Gender, Universitas Yarsi, Jakarta, menemukan komplikasi utama yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan berupa pendarahan, trauma psikologis dan infeksi.
Praktik mutilasi kelamin perempuan menunjukkan penstereotipean (pelabelan) yang diskriminatif mengenai kelamin perempuan yang 'kotor' atau merendahkan; bahwa perempuan tidak berhak membuat pilihan mereka sendiri mengenai seksualitas dengan cara yang sama dengan laki-laki; dan perempuan dan anak perempuan hanya bisa bermartabat secara penuh dalam praktik keagamaan jika badan mereka diubah, artinya ada yang secara inheren salah dengan tubuh perempuan.
Perilaku-perilaku yang merendahkan perempuan karena kondisi aktual atau persepsi atas seksualitas mereka sering dijadikan justifikasi kekerasan terhadap perempuan.
Direktur Bina Kesehatan Ibu di Kementerian Kesehatan, pada bulan Juni tahun lalu membantah peraturan tersebut melegitimasi mutilasi kelamin perempuan atau segala jenis penyalahgunaan, bersikeras peraturan tersebut diperkenalkan untuk memastikan 'sunat perempuan' dilakukan dengan aman oleh para profesional kesehatan yang terlatih.
Namun, Indonesia memiliki kewajiban untuk memastikan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Lembaga medis dan hak asasi manusia di Indonesia telah mengungkapkan kekhawatiran bahwa peraturan tersebut bisa mengakibatkan yang sebaliknya dan meningkatkan praktik ini di Indonesia Peraturan mengenai sunat perempuan bertentangan dengan langkah pemerintah memperkuat kesetaraan gender dan melawan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Peraturan itu juga melanggar sejumlah hukum Indonesia, termasuk Undang-Undang No.7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Undang-Undang No. 5/1998 tentang ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan (CAT); Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak; Undang- Undang No. 23/2004 tentang Kekerasaan dalam Rumah Tangga; dan Undang-Undang No. 23/2009 tentang Kesehatan.
Peraturan ini bertentangan dengan edaran pemerintah ditandatangani Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, yang secara khusus memperingatkan dampak negatif kesehatan mutilasi kelamin perempuan pada perempuan.
Dalam kesimpulan observasinya tahun 2007, Komite CEDAW merekomendasikan Indonesia untuk mengembangkan rencana aksi untuk menghapus praktik mutilasi kelamin perempuan, termasuk mengimplementasikan kampanye penyadaran publik untuk merubah persepsi budaya yang terkait dengannya.
Selain itu menyediakan pendidikan yang memasukkan praktik tersebut sebagai pelanggaran hak asasi perempuan dan anak perempuan dan tidak memiliki dasar dalam agama.