REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Gayus Tambunan , Kamis (1/3), dihukum enam tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Gayus telah mengantongi vonis berkekuatan hukum tetap sebesar 20 tahun penjara. Lantas berapa lama Gayus akan dipenjara?
Menurut pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakkir, pada prinsipnya dalam menjatuhkan hukuman untuk Gayus itu dikumpulkan ancaman hukuman tertingginya. Kemudian, ancaman tertingginya itu ditambah sepertiga dari ancaman hukuman tertinggi itu.
"Jadi kalau ancaman hukuman tertingginya 20 tahun itu ditambah sepertiga dari 20 tahun. Nah itulah hukuman untuk Gayus," kata Muzakkir saat dihubungi Republika, Jumat (2/3).
Artinya, dari rangkaian perkaranya, Gayus seharusnya dihukum sekitar 26 tahun 6 bulan penjara. Bukan 28 tahun jika diakumulasikan dari seluruh hukuman berbagai perkara Gayus.
Gayus telah mengantongi hukuman pidana penjara 20 tahun penjara. Yaitu, kasus pertama di Tangerang 8 tahun penjara dan di PN Jakarta Selatan 12 tahun penjara. Sementara terkait kasus pemalsuan paspor yang disidangkan di Pengadilan Negeri Banten, lanjut hingga kini masih dalam proses banding di Pengadilan Tinggi Banten.
Terakhir, hukuman di Pengadilan Tipikor Jakarta , Kamis (1/3) ini, Gayus divonis enam tahun penjara. Artinya, kalau diakumulusikan total hukuman Gayus sebanyak 28 tahun.
Menurut Muzakkir, Indonesia tidak menganut azas hukum akumulasi . Tidak seperti sistem hukum yang diterapkan di negara seperti Amerika Serikat yang mengakumulasikan seluruh hukuman dari berbagai perkara yang dilakukan oleh seseorang.
"Jadi kalau di Amerika itu misalnya ada seseorang dihukum seumur hidup pada satu kasus, kemudian ia melakukan perkara lainnya yang juga dihukum selama seumur hidup. Artinya ia dihukum dua kali semur hidup. Nah kalau di Indonesia tidak," kata Muzakkir.
Karena itu, Muzakkir mempertanyakan keputusan majelis hakim Pengadilan Tipikor yang mengatakan vonis enam tahun untuk Gayus terpisah dengan perkara - perkara Gayus lainnya yang telah memiliki keputusan hukum tetap. Menurutnya, keputusan majelis itu justru tidak sesuai dengan penerapan hukum di Indonesia.
"Jangan-jangan putusan hakim lebih kepada emosi semata. Itu kan gak boleh. Jangan memberi hukuman kepada seseorang tapi dengan cara melanggar hukum," kata Muzakkir.
Senada dengan Muzakkir, pakar hukum pidana Universitas Indonesia Hasril Hertanto juga sepakat dengan penerapan hukum di Indonesia yang tidak menganut akumulasi.
"Ya memang itu hukumnya. Ancaman hukuman tertinggi ditambah dengan sepertiga ancaman hukuman tertinggi," kata Hasril saat dihubungi Republika.
Saat ditanya apakah aturan hukum di Indonesia tidak mempertimbangkan asas keadilan di masyarakat, Hasril menjelaskan bahwa keadilan itu juga membutuhkan aturan yang jelas. "Ya kan semua ada aturannya," kata Hasril.
Salah satu anggota kuasa hukum Gayus, Dion Pongkor mengatakan, jika memang keputusan hakim seperti itu, ia menyayangkannya. Ia menganggap putusan hakim itu tidak tepat. "Memang hukum kita kan gak menganut akumulasi," katanya.
Oleh karena itu, DIon mengatakan pihaknya akan menggunakan upaya banding terhadap putusan itu. Langkah-langkah hukum akan dilakukan untuk memperbaiki putusan yang menurutnya merugikan kliennya tersebut. "Ini kan belum inkraht kita masih ada waktu (untuk memikirkan banding)," katanya.
Kemarin, pada sidang vonis Gayus di Pengadilan Tipikor, anggota majelis hakim Ugo dalam amar putusannya menyebutkan, majelis hakim berpendapat masa pidana yang dijatuhkan kepada Gayus tidak berhubungan dengan perkara lain, yang telah menjerat mantan pegawai Dirjen Pajak itu.
"Mengenai masa pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, majelis hakim melihat terdakwa telah dijatuhkan pemidanaan terhadap perkara lain, dan perkara itu berdiri sendiri tidak berhubungan dengan perkara ini," kata Ugo.