REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Delegasi parlemen Indonesia membahas gejala Islamphobia dalam sesi dialog kebudayaan pada Pertemuan Konsultasi Kepala Parlemen G20 ke-3 di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu (25/2). Indonesia menilai persepsi salah tentang Islam itu perlu diluruskan.
‘’Gejala Islamphobia hingga saat ini masih sangat kuat. Untuk itu, masalah tersebut perlu diluruskan lewat dialog termasuk melalui Forum Parlemen G20 di Arab Saudi ini,’’ kata Ketua Delegasi Parlemen Indonesia, Marzuki Alie, saat ditanya wartawan jelang pembukaan Pertemuan Konsultasi Kepala Parlemen G20 ke-3.
Marzuki mengatakan bahwa delegasi Indonesia ingin menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menghargai perbedaan. Islam mengajarkan perdamaian dan hak asasi manusia. ‘’Islam tidak mengajarkan kekerasan,’’ tandasnya.
Sesi dialog kebudayaan menjadi sesi pertama pertemua yang dilangsungkan pada Sabtu (25/2) siang waktu setempat. HE Dr. Abdullah Al-Sheikh, Ketua Parlemen Arab Saudi, tampil sebagai pemimpin sidang. Abdullah Al-Sheikh memberikan pidato pembuka sesi sekitar sepuluh menitan.
Indonesia diwakili oleh Hidayat Nur Wahid, Kepala Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR, yang memberikan pidato intervensi selama tiga menit. Dalam kesempatan tersebut, Hidayat menyinggung masalah Islamphobia.
‘’Dengan tingginya tensi dan konflik antar ekstrimis, kami melihat Islamphobia semakin meningkat terutama di beberapa negara Eropa dan Barat,’’ katanya. ‘’Melihat fenomena tersebut, kita perlu meresponnya dengan mengintensifkan dialog.’’
Hidayat juga menyebut Indonesia sebagai bukti nyata bahwa Islam dan demokrasi bisa berkembang berdampingan. Lewat moto Bhineka Tunggal Ika, Indonesia menjadi bukti di mana agama dan demokrasi bisa saling harmonis dan saling melengkapi. ‘’Indonesia menghadirkan gambaran agama sesungguhnya yang damai. Karena, agama terutama Islam bukan penyebab terror atau kerusuhan,’’ katanya. ‘’