REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SBY dinilai banyak berbicara, berwacana, tanpa ada realisasi maksimal terkait dengan pembicaraannya. Dia dinilai tidak tegas dalam mengeksekusi rencana dan strategi yang dibuatnya sendiri.
Faktanya, dia mengatakan reformasi yang berjalan 14 tahun tidak membawa banyak kebaikan, harus diubah. "Ini konyol. Jadi selama ini apa saja yang dia kerjakan sehingga tidak membawa banyak kebaikan," jelas Pengamat Politik dari Indonesian Institute, Cecep Effendi, saat dihubungi, Jumat (24/2).
Penilaian SBY dinilainya aneh. Dia yang berkuasa hampir mencapai dua periode kepemimpinan, namun reformasi belum maksimal. Otomatis dia sendiri yang bersalah.
Cecep menyatakan tidak perlu menyalahkan siapapun terkait dengan tidak maksimalnya reformasi. "Presiden yang bertanggungjawab," jelasnya.
Reformasi birokrasi misalkan, hal ini bersifat hierarkhis. Yang tertinggi tentu presiden. Jadi apa kata presiden tentu akan dituruti. "Prinsipnya tentu, kami mendengar, kami taat," kata Cecep. Namun pada kenyataannya, presiden sendiri yang membengkakkan birokrasi dengan membentuk utusan khusus presiden, staff khusus presiden, UKP4, satgas, dan wakil menteri.
Padahal, sebagai pendampingnya, presiden cukup meminta wakilnya dan para menteri, tanpa harus membentuk staff khusus dan tetek bengeknya yang dinilai hanya membuang uang rakyat saja. "Jadi sudah jelas siapa yang disalahkan disini," ujar Cecep.