Kamis 23 Feb 2012 09:14 WIB

KPK: 40 Persen Saham Singapura Punya Pengusaha Indonesia

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Ramdhan Muhaimin
Kota Singapura
Foto: Dumalana
Kota Singapura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Hingga kini Singapura selalu menolak perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Indonesia. Mengapa? Ternyata karena 40 persen saham di negeri Singa tersebut dimiliki pengusaha 'kakap' Indonesia. 

Hal itu diungkapkan, Penasehat KPK Abdullah Hehamahua kepada wartawan di Jakarta, Kamis (23/2). 

"Hasil pendataan KPK, 40 persen saham di Singapura adalah milik orang Indonesia.Itu berarti orang terkaya di Singapura bukanlah orang Singapura, melainkan orang Indonesia. Oleh sebab itu juga Singapura hingga saat ini tak mau meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Indonesia," ujar Abdullah. 

Tujuan dari perjanjian ini, kata dia, adalah meminta buronan dari suatu negara yang lari ke negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Singapura, kata Abdullah, menjadi tempat nyaman untuk pelarian koruptor di Indonesia.

Abdullah juga mengatakan, KPK melakukan pendataan tentang praktik korupsi di Indonesia. Hasilnya, lanjutdia, 50 persen kasus korupsi di Indonesia berbentuk penyuapan. Itu sebabnya mengapa KPK mengategorikan korupsi sebagai kasus luar biasa (extraordinary crime).

"Karena koruptor Indonesia banyak kirim uangnya ke negara lain," cetus Abdullah.

Menuru dia, pembuktian korupsi di Indonesia itu sangat super. Artinya membutuhkan usaha ekstra keras. Koruptor menyuap tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi. Secara hukum, pembuktiannya cukup sulit. Itu sebabnya Undang-Undang memberi kewenangan kepada KPK untuk memenjarakan orang yang korupsi.

Dia mengungkapkan, dampak korupsi itu luar biasa. Misalnya dari sektor ekonomi, utang Indonesia di luar negeri mencapai Rp 1.227 tiliun. Utang ini dibayar tiga tahap, 2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 - 2042. "Masalahnya apakah kita dapat melunasinya pada 2042? sementara menjelang tahun itu banyak timbul utang-utang baru dari korupsi baru," kata Abdullah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement