REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pendataan tentang praktik korupsi di Indonesia. Hasilnya, 50 persen kasus korupsi di Indonesia berbentuk penyuapan. Itu sebabnya mengapa KPK mengategorikan korupsi sebagai kasus luar biasa (extraordinary crime).
Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan ada tiga sebab mengapa korupsi di Indonesia menjadi kejahatan luar biasa. Pertama, korupsi di Indonesia sifatnya transnasional. "Koruptor Indonesia banyak kirim uangnya ke negara lain," ujarnya kepada Republika di kantor PLN pusat, Kamis (23/2).
Hasil pendataan KPK, kata Abdullah, 40 persen saham di Singapura adalah milik orang Indonesia.Itu berarti orang terkaya di Singapura bukanlah orang Singapura, melainkan orang Indonesia. Oleh sebab itu juga Singapura hingga saat ini tak mau meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
Tujuan dari perjanjian ini adalah meminta buronan dari suatu negara yang lari ke negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Singapura, kata Abdullah, menjadi tempat nyaman untuk pelarian koruptor di Indonesia.
Kedua, pembuktian korupsi di Indonesia itu super. Artinya membutuhkan usaha ekstra keras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan. Koruptor menyuap tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi. Secara hukum, pembuktiannya cukup sulit. Itu sebabnya Undang-Undang memberi kewenangan kepada KPK untuk memenjarakan orang yang korupsi.
Ketiga, dampak korupsi itu luar biasa. Misalnya dari sektor ekonomi, hutan Indonesia di luar negeri mencapai Rp 1.227 tiliun. Hutang ini dibayar tiga tahap, 2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 - 2042. "Masalahnya apakah kita dapat melunasinya pada 2042? sementara menjelang tahun itu banyak timbul hutang-hutan baru dari korupsi baru," kata Abdullah.