Selasa 21 Feb 2012 22:28 WIB

Maarif: Keputusan MK Soal Anak tak Berarti Perzinahan Marak

Syafii Maarif
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi'i Maarif setuju dengan keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa anak di luar nikah memiliki hubungan perdata atau status hukum dengan ayahnya sebagaimana putusan dalam uji materi Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. "Itu bagus, saya setuju," katanya di Jakarta, Selasa (21/2).

Menurut dia, di dalam perspektif Islam, anak yang terlahir dari hubungan apapun adalah suci dan tidak mengenal dosa warisan. "Yang berdosa itu ya orang tuanya, tapi anaknya suci," tambahnya.

Untuk itu, menurut dia, tidak ada alasan anak yang telah dilahirkan tersebut tidak mendapatkan perlindungan melalui status hukum. Ia menambahkan, keputusan MK tersebut tidak berarti perzinahan akan semakin marak. "Karena itu belum tentu juga akan membuka pintu perzinahan," katanya menegaskan.

Mahkamah Konstitusi (MK) pada 17 Februari 2012 memutuskan anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata (status hukum) dengan ayahnya bila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum.

Putusan majelis MK terkait pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimohonkan Aisyah Mochtar (Machica Mochtar) dan anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.

Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil saat membacakan pertimbangan mengatakan bahwa secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa.

Baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.

Karena itu, menurut dia, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.

Begitu pula sebaliknya, tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual sehingga menyebabkan kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement