Selasa 21 Feb 2012 16:13 WIB

Wah, Presiden Gugat DPR dan BPK

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Hafidz Muftisany
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Foto: kpu.jabarprov.go.id
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin serta Menteri Keuangan Agus Martowardjojo menggugat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Gugatan dilakukan Presiden dilayangkan melalui Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) terkait divestasi tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (NTT) oleh pemerintah. Sidang perdana digelar di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (21/2).

Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Baharuddin, meminta MK memutuskan bahwa kebijakan pembelian saham murni kewenangan pemerintah. Karena itu, pembelian saham yang dilepas PT NTT sebesar tujuh persen itu bukan menjadi ranah DPR. Pemerintah, imbuh Kiagus, menganggap surat Nomor PW.01/9333/DPR-RI/X/2011 dan Nomor AG/9314/DPR-RI/X/2011, yang keduanya tertanggal 28 Oktober 2011, mengharuskan persetujuan DPR terlebih dulu dalam pembelian saham 7 persen saham yang dijual PT NTT pada 2010, melangkahi aturan.

Karena itu, pihaknya meminta MK menilai dua surat pimpinan DPR itu sebagai kebijakan yang menyalahi kewenangan. Karena DPR telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan kewenangan konstitusional pemohon. “Kami meminta pendapat MK agar kewenangan pengelolaan investasi dapat dilakukan tanpa persetujuan DPR,” ujar Kiagus dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.

Dia melanjutkan, UUD 1945 menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan antara cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang diwujudkan dalam pelembagaan institusi saling mengontrol satu sama lain (check and balances). Dalam cabang eksekutif, lanjut Kiagus, lembaga negara yang dimaksud adalah presiden dan wakil presiden.

Adapun kekuasaan legislatif terdapat empat lembaga, yaitu Majelis Pemusyarawatan Rakyat (MPR), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), DPR, dan BPK. Dalam bidang kekuasaan yudikatif, ada dua Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), serta Komisi Yudisial (KY), selaku pengawas perilaku hakim.

Sehingga, lanjut Kiagus, selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, presiden bisa melakukannya tanpa persetujuan DPR. Hal itu sebagai perwujudan kewenangan konstitusional presiden guna mewujudkan amanat konstitusi. Karena itu, pembelian tujuh persen saham PT NNT merupakan kewenangan konstitusional dalam bidang pengelolaan keuangan negara. “Pembelian saham merupakan keputusan pemerintah yang sejatinya ditujukan untuk member manfaat seluas-luasnya untuk rakyat,” katanya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement