REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Presiden SBY dituding hanya lebih memerdulikan urusan partainya daripada pemerintahan. Padahal, belakangan ini banyak persoalan konflik dan perpecahan yang berbahaya. Persoalan ini dinilai harus segera diselesaikan, karena semakin dibiarkan semakin mengancam integritas NKRI.
"Kepedulian Presiden terhadap situasi karut marut sekarang ini amat diperlukan," jelas Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, kepada Republika, Ahad (19/2).
Bukannya sibuk memikirkan solusi persoalan, belakangan ini, presiden justru terlihat sigap merespon persoalan internal Demokrat. Ada pertemuan yang membahas ekses kasus suap wisma Atlet Palembang terhadap partainya. Ada pernyataan pers SBY dan respons SBY atas rotasi seorang kader PD yang sedang bermasalah dengan hukum.
Rangkaian kegiatan dan peristiwa itu memunculkan dugaan bahwa konsentrasi SBY lebih terfokus pada persoalan yang mendera PD dibanding persoalan yang mestinya ditangani pemerintah.
Eskalasi persoalan yang dihadapi Partai Demokrat diharapkan jangan sampai mengganggu konsentrasi presiden memimpin pemerintahan. Meningkatnya intensitas konflik sosial di sejumlah daerah mengindikasikan bahwa stabilitas nasional sedang diuji. Untuk melalui ujian berat ini, diperlukan Kepemimpinan Presiden yang efektif dan berani.
"Dalam beberapa bulan terakhir ini, intensitas konflik berdarah maupun bentrok warga dengan penegak hukum dirasakan makin meningkat," jelasnya.
Dari konflik yang terjadi pada beberapa tempat di Papua, Maluku, Lampung, Mesuji, di Kalimantan, hingga Bali dan Nusa Tenggara Timur NTT. Alasan yang melatarbelakangi konflik atau bentrok pun beragam.
Ada yang berlatarbelakang persoalan tanah (konflik agraria), rivalitas antarwarga, ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah daerah, hingga ketidakpuasan warga terhadap penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah. Bahkan, terjadi juga konflik yang berlatarbelakang agama.
Pemerintah hendaknya menyadari?bahwa kegelisahan sosial sedang menyelimuti masyarakat di mana-mana. Kegelisahan sosial itu bermuara pada akumulasi persosalan ekonomi, rasa keadilan dan pertanyaan seputar peran negara dalam melindungi warga negara. Kualitas pertumbuhan ekonomi yang buruk gagal meringankan beban hidup warga kebanyakan.
"Akhir-akhir ini, rasa keadilan rakyat sering terluka akibat tidak adanya kearifan dalam mekanisme penegakan hukum," imbuhnya.