Sabtu 18 Feb 2012 20:22 WIB

Kaum Ibu: Putusan Revolusioner MK, Ancam Lembaga Perkawinan

Lembaga perkawinan (ilustrasi)
Lembaga perkawinan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada Jumat (17/2) mengancam kedudukan lembaga perkawinan 'diremehkan' oleh banyak orang.

Pasalnya, keputusan "revolusioner" dari MK itu akan membuka peluang bagi orang banyak untuk menilai dan berkesimpulan putusan itu menekankan dan mementingkan pengakuan hubungan biologis semata.

Hal itu akan memunculkan anggapan bahwa toh tanpa nikah resmi, dengan sejumlah bukti yang ada, anak dapat pengakuan hubungan darah.

Putusan MK tersebut ternyata mengundang sikap pro-kontra. Utamanya di beberapa keluarga, suami-isteri memperdebatkan substansi dari putusan yang didengar dan dibaca melalui media massa.

Lembaga perkawinan seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agama yang banyak mengurusi talak, rujuk dan perceraian bakal tak penting lagi. Tentu orang licik akan mencari jalan secara licik pula untuk melampiaskan hasrat biologisnya.

Putusan MK itu justru merusak lembaga perkawinan itu sendiri. Kebanyakan orang akan 'membacanya' sebagai mementingkan hubungan biologis seorang bapak dengan anaknya.

Di sisi lain, lembaga perkawinan yang dianggap sakral terancam dianggap enteng atau diremehkan karena muncul persepsi masyarakat bahwa tanpa nikah di Kantor Urusan Agama (KUA), atau nikah resmi dihadapan penghulu sesuai ketentuan hukum, seorang anak di luar nikah pun dapat diakui dan memiliki kedudukan sama di mata hukum.

Seorang anak dari hubungan gelap pun, ke depannya, jika hendak mendapatkan hak waris harus mendapatkan penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama pun harus mengakomodirnya dengan mengeluarkan fatwa waris bagi anak yang selama ini dipersepsikan masyarakat sebagai "anak haram", kata seorang ibu.

Tentu pula, kedepannya, hal ini akan berimplikasi terhadap pembagian warisan dari kedua orangtua yang bersangkutan, bahkan dapat berdampak lebih luas lagi bila pihak ayah anak bersangkutan punya isteri sah dan lebih dari satu.

"Repot. Putusan itu menjustifikasi (membenarkan) kumpul kebo dan bisa merajalela 'hidung belang' di berbagai tempat," kata seorang ibu dalam perbincangan dengan Antara, Sabtu (18/2).

Seperti diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar. Keputusan itu menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya.

MK menyatakan, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, 'Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya' bertentangan dengan UUD 1945.

Kemudian, MK juga menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Pedangdut era 1980-an, Machica Mochtar, istri siri mendiang mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono itu menggugat Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ke MK.

Machica meminta dua pasal itu dihapus, karena dirinya merasa dirugikan, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan.

Menurut Machica, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement