REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU - Direktur Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Riau, Sukardi Ali, menyatakan, maraknya praktik mafia "kencing minyak" bisa jadi merupakan salah satu penyebab pengelola Stasiun Pengisian Bakar Umum berbuat nakal terhadap konsumen.
"Seperti diketahui, praktik 'kencing minyak' ini merupakan kasus lama, dan seharusnya semua pihak mulai dari Pertamina, pemerintah, masyarakat serta terutama kepolisian sudah harus bisa mengungkapnya," kata Sukardi di Pekanbaru, Jumat (17/2).
Dalam catatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Riau, menurutnya, pihak kepolisian juga sudah selayaknya melakukan penyelidikan, sementara pemerintah dan pertamina menginvestigasi kasus 'klasik' ini.
"Benar atau bisa jadi, berkurangnya takaran minyak di tiap pompa minyak yang ada di berbagai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Pekanbaru atau bahkan mungkin di beberapa wilayah Riau lainnya, akibat adanya pemuaian (aksi 'kencing minyak') BBM tersebut," ungkapnya.
Namun, menurutnya, ada beberapa hal yang ditengarai menjadi alasan kuat para pengelola SPBU berbuat nakal, yakni lebih melekat pada unsur kesengajaan.
"Seperti maraknya praktik mafia 'kencing minyak' ini. Tetapi, pihak Pertamina tidak pernah mengakui adanya kerugian atas praktik ilegal ini. Sebab, mobil tangki yang keluar dari kilang Pertamina memang langsung mengarah ke lokasi-lokasi SPBU yang tersebar di sejumlah wilayah," ujarnya.
Bagi Sukardi, hal ini selayaknya menjadi bahan pertimbangan untuk adanya kontrol ketat.
Bisa jadi, lanjutnya, kelebihan minyak yang diberikan pihak Pertamina sebagai wujud antisipasi terjadinya pemuaian BBM selama pendistribusian berlangsung, justru 'tercecer' di sejumlah tempat praktik 'kencing minyak'.
Tentunya, menurutnya, pihak pengusaha SPBU yang menerima takaran dengan jumlah pas-pasan atau bahkan berkurang, pasti tidak ingin mengalami kerugian.
"Makanya, salah satu upayanya, mungkin dengan mengurangi takaran pomba bensinnya, seperti yang terungkap beberapa waktu lalu," ujarnya.
Ini semua, demikian Sukardi, selayaknya menjadi "PR" bersama seluruh pihak, baik pemerintah, Pertamina dan kepolisian untuk menindaklanjutinya.