REPUBLIKA.CO.ID, AMBON---Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat. Namun, proses hukumnya pun tidak berjalan mulus lantaran kerap tidak tuntas. Inilah yang terjadi pada kasus kekerasan seksual terhadap anak di Ambon pada 2011 meningkat tajam, dibandingkan tahun sebelumnya. "Sedikitnya ada 35 kasus kekerasan seksual yang pernah kami tangani, tahun 2011. Angka ini jauh lebih banyak daripada 2010, hanya 15 kasus," kata Bai Hadjar Tualeka, Direktur Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku, Kamis (16/2)
Ia mengatakan, 35 kasus tersebut belum termasuk dalam kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak diproses secara hukum hingga selesai. Sebagian besar kasus kekerasan seksual tidak dilanjutkan ke pengadilan, disebabkan kurangnya bukti dan saksi, dan keluarga korban yang tidak mampu mengeluarkan biaya untuk visum, dan pemeriksaan lainnya. "Banyak kasus yang tidak tuntas secara hukum disebabkan keluarga korban yang tidak mampu secara finansial, dan akhirnya menghentikan sendiri proses hukum yang sedang berlangsung," katanya.
Menurut Tualeka, rata-rata pelaku kekerasan seksual terhadap anak memiliki keterkaitan dengan korban, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab banyak dari keluarga korban yang malu untuk melaporkan pada pihak kepolisian.
Adanya stigmatisasi negatif terhadap korban kekerasan seksual, juga turut mendukung penghentian proses pengusutan kasus tersebut. "Masyarakat kita masih belum terlalu mendukung korban kekerasan seksual. Terkadang mereka malah disudutkan, dianggap aneh dalam masyarakat, sikap-sikap seperti ini bahkan ditunjukan secara terbuka," ucapnya.
Ia menambahkan, banyak aparat penegak hukum maupun instansi terkait yang belum paham benar dengan standar Pelayanan Minimum (SPM), UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sehingga seringkali kasus anak disamakan dengan orang dewasa. "Panduan yang dikeluarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Peraturan Menteri Nomor 6, Tahun 2011 juga belum dipahami dengan benar di sini," ujar Bai Hadjar Tualeka.