Sabtu 11 Feb 2012 17:18 WIB

Korupsi Rp 500 Miliar Bakal Dihukum Mati?

Rep: erik purnama putra/ Red: Taufik Rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Terpilihnya Hatta Ali sebagai ketua Mahkamah Agung (MA) sepertinya membawa harapan baru bagi perbaikan sistem peradilan di Indonesia. Setelah Hatta Ali menyiratkan hukuman koruptor bisa divonis mati, pendapat tersebut diperkuat Ketua Muda Pidana Umum Artidjo Alkostar yang siap menghukum mati koruptor.

Dia menganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa yang menjatuhkan rakyat menjadi miskin. Sehingga pelaku korupsi tidak perlu dikasihani dan layak dihukum maksimal. Catatannya, kerugian negara yang diakibatkan korupsi itu minimal Rp 500 miliar. “Saya yang pertama menjatuhkan vonis mati terhadap koruptor,” kata Artidjo.

Meski siap menghukum mati koruptor, komitmennya bakal menemukan ganjalan aturan yang ada. Ini lantaran ancaman hukuman mati yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) isinya terkesan setengah hati. Pasalnya dalam penjelasan Pasal 2 Ayat 2 tertulis, pidana mati dapat dijatuhkan tergantung faktor tertentu.

Seperti, korupsi yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. “Ketentuan itu, malah kontradiksi dengan pemberantasan korupsi sebab tidak jelas parameternya,” cetus alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tersebut.

Menurut Artidjo, karena ketidakjelasan tolok ukur tersebut yang membuatnya hingga kini belum bisa menghukum mati koruptor. Sebab perkara korupsi yang ditanganinya belum memenuhi ketentuan yang ada. Apalagi keadaan negara dalam kondisi normal dan tidak dalam ancaman bencana.

Dia melanjutkan, UU Tipikor  cenderung menguntungkan elit pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya dalam mengelola anggaran. Termasuk juga faktor sensivitas politik penguasa yang berkontribusi kepada terhalangnya penuntutan hukuman maksimal kepada pelaku korupsi. Hal itu diakuinya membuat masyarakat kecewa dan tidak percaya terhadap lembaga peradilan.

Ini diakibatkan hukuman kepada koruptor selalu lebih rendah ketimbang koruptor yang tidak punya jabatan alias kelas teri. “Kondisi ini menunjukkan perangkat hukum korupsi kita masih mengidap sifat koruptif,” ujarnya menganalisis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement