REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Puluhan miliar uang rakyat yang dikeluarkan para anggota DPR untuk pembahasan dan perancangan undang-undang dinilai merupakan hal yang wajar. Karena menurut anggota Komisi VIII DPR, Amran dalam membahas UU membutuhkan pendalaman, pengayaan materi, dan pemahaman yang komprehensif.
"Kami tidak ingin ada kejanggalan dalam UU yang kami rancang atau revisi," imbuhnya, saat dihubungi, Jumat (10/2).
Menurutnya, anggaran untuk pembahasan dan perancangan undang-undang ini adalah wewenang pimpinan DPR. Di komisi VIII, anggaran sebanyak lebih dari Rp 29 M itu digunakan untuk mengesahkan Undang-Undang Fakir Miskin, dan UU Zakat.
Sedangkan UU masih dibahas adalah UU produk halal, Revisi UU penyandang cacat, masih belum selesai. Ada juga UU Kesetaraan Gender yang akan dibahas. Belum lagi panja-panja.
Dalam pembahasanyan, lanjut dia, DPR mengundang sejumlah pakar. Mereka diberikan uang transport yang terkadang kurang. Amran mencontohkan dalam RDP rencana revisi UU haji, pihaknya mengundang nara sumber lebih dari tiga orang. Sementara anggaran untuk transpor narasumber hanya untuk tiga orang. "Jadi ada yang tidak dapat," ujarnya.
Dia mengatakan masyarakat jangan berprasangka buruk terkait dengan banyaknya anggaran yang dibutuhkan untuk membahas atau merancang undang-undang. Sebabnya, untuk melakukan itu ada proses konsinyering. Ada uji coba di beberapa daerah. Belum lagi kunjungan kerja dalam dan luar negeri.
"Itu semua membutuhkan dana yang tidak sedikit," jelasnya. Hal itu dimanfaatkan untuk menghimpun pengetahuan dan informasi mengenai permasalahan yang akan diatur dalam sebuah undang-undang.