REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dari catatan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terungkap bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari Ditjen Pajak dan Bea Cukai yang terbanyak melakukan transaksi keuangan mencurigakan.
"Dari sekian catatan yang melibatkan PNS, ternyata dominasi oleh PNS pemda dan di pemerintah pusat PNS Kementerian Keuangan khususnya di Ditjen Pajak dan Bea Cukai," kata Kepala PPATK Muhammad Yusuf, di Kantor Kementerian, Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Jakarta, Rabu (8/2).
Muhammad Yusuf menyebutkan, sejak 2003 hingga Januari 2012 terdapat 86.264 laporan transaksi yang mencurigakan. Dari jumlah itu sebanyak 1.890 laporan dianalisis kemudian dilanjutkan dengan mengirimnya ke penegak hukum dan terdapat 630 laporan yang melibatkan rekening PNS.
"Tahun 2011 ada 158 PNS masuk transaksi keuangan mencurigakan, itu sudah dilaporkan ke inspektorat jenderal masing-masing kementerian," ungkapnya.
Namun, Yusuf tidak merinci lebih lanjut pemda mana saja yang ada tercatat PNS-nya memiliki transaksi mencurigakan. "Pemdanya tidak bisa saya sebutkan, di antara modus kepala daerah adalah membeli polis asuransi atas nama anaknya dari dana yang belum tahu dari mana, nantinya polis asuransinya berbunga," bebernya.
Modus lainnya, kata dia, sisa dana DAK dan DAU dari pemerintah pusat dimasukan ke dalam rekening pribadi, kemudian rekeningnya akan berbunga dan selisih dana itu akan dimasukan ke dalam kantung pribadi.
Ia menambahkan transaksi mencurigakan yang melibatkan PNS bervariasi, ada yang bernilai Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar bahkan ada juga yang sampai Rp 23 miliar.
Pimpinan Kementerian, TNI, Kepolisian Negara RI, Lembaga Negara, dan pemerintah daerah diminta berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memperoleh informasi tentang kewajaran transaksi keuangan calon pejabat yang akan dipromosikan untuk menduduki jabatan eselon I dan II.
"Jika ditemukan transaksi mencurigakan, pejabat yang bersangkutan dapat ditunda promosinya. Bahkan, jika ada indikasi pidana, pejabat yang bersangkuan dapat diproses secara hukum," kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar di kantornya di Jakarta, Rabu.
Permintaan Azwar itu tertuang dalam surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 01/2012 tentang Peningkatan Pengawasan dalam Rangka Mewujudkan Aparatur Negara yang Berintegritas, Akuntabel, dan Transparan. Surat Edaran itu ditujukan kepada pimpinan Kementerian, TNI, Polri, dan lembaga negara, dan pemerintah daerah.