REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pengadaan pesawat intai tanpa awak (UAV) belum masuk sebagai keputusan final dan tak harus dari Israel. Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono menyatakan hal itu, Selasa (7/2). "Semua masih berproses di Kementerian Pertahanan, jadi belum final," katanya usai memimpin upacara alih komando pengendalian Pasukan Pemukul Reaksi Cepat di Markas Divisi-1/Kostrad Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Ia menegaskan, TNI sebagai pengguna tidak mempersalahkan dari negara mana alat utama sistem senjata yang akan digunakan itu diadakan. "Bagi TNI jika persenjataan yang beli sesuai spesifikasi teknik dan kebutuhan operasi yang dibutuhkan maka semua 'clear'. Tidak masalah," ujar Panglima TNI.
Rencananya TNI membangun satu skuadron pesawat UAV. Pada 2006, TNI menggelar tender pembelian empat pesawat pengintai tanpa awak (UAV) untuk Badan Intelijen Strategis (Bais) yang akhirnya dimenangkan oleh Searcher Mk II melalui perusahaan Filipina, Kital Philippine Corp dengan nilai 6 juta dolar AS per unitnya. Dananya didapat dari Bank Leumi (Inggris) dan Bank Union (Filipina) untuk kredit ekspor. Belakangan karena ramai dikritik DPR, proyek pengadaan tersebut tertunda.
UAV buatan Divisi Malat Israeli Aircraft Industries (IAI) dinilai paling unggul untuk penggunaan di angkasa Nusantara. Pada 1996, Indonesia pertama kali menggunakan UAV Searcher Mk II buatan Israel milik Singapura untuk mencari lokasi sandera peneliti asing di Papua. Selain Singapura, Malausia juga telah mengoperasikan senjata buatan Israel.