REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Percaya atau tidak, konflik bernuansa agama di Indonesia itu hakekatnya tidak ada. Konflik di Sampang, kata Direktur Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) PCNU Kabupaten Sampang, Faidlol Mubarak, lebih bersifat konflik keluarga yang dikemas dalam bentuk konflik agama bernuansa Sunni-Syiah.
"Sesama warga dua kelompok sebenarnya tidak ada masalah dan bertetangga," ujarnya.
Saat ditemui di PWNU Jatim, ia menjelaskan kasus yang memicu pembakaran di Sampang itu tidak terjadi seketika, namun berlangsung kurang lebih enam tahun.
"Sebenarnya, ada kesepakatan bersama antara pihak yang pro-kontra bersama pemerintah, namun pemimpin Syiah Sampang Ustadz Tajul Muluk menyelipkan nada provokasi dalam dakwahnya yang menyalahi kesepakatan," katanya.
Tidak jalannya sebagian kesepakatan itu menimbulkan masalah di antara keluarga dan akhirya berdampak buruk yang berakibat pada reaksi pembakaran. Awalnya, sebuah rumah dan madrasah milik Ustadz Tajuk Muluk di Desa Karang Gayam, Kecamatan Karangpenang, Sampang, Kamis (29/12) pagi, dibakar massa.
Setelah itu, aksi pembakaran rumah berkembang. Rumah yang dibakar massa pada siang harinya adalah milik Ustadz Iklil Almilal, penasehat Islam Syiah di Kabupaten Sampang, teman dekat pimpinan Syiah, Ustadz Tajul Muluk.
Tidak cukup itu, sekelompok massa pun melakukan penjarahan harta benda pengikut Syiah, Jumat (30/12) malam, di antaranya di rumah milik Ulul Albab (39), warga Dusun Gaddhing Laok, Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang. "Harta benda yang dijarah antara lain sepeda motor, STNK, SIM, baju, dan semua isi rumah, bahkan semua isi toko yang berdampingan dengan rumah saya juga tidak ada yang tersisa," kata Ulul Albab, Sabtu (31/12).
Untuk melakukan penyelamatan darurat, pemerintah daerah setempat pun mengungsikan 351 orang dari kelompok Syiah setempat ke Gelanggang Olah Raga (GOR) Sampang.