Selasa 27 Dec 2011 19:39 WIB

Din: Reformasi Kepolisian untuk Ubah Paradigma

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin

REPUBLIKA.CO.ID, BOYOLALI - Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan perlunya reformasi kepolisian untuk mengubah paradigma, menyusul sering terjadinya kasus kekerasan seperti di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

"Kepolisian harus mengubah paradigma, jangan terkesan dipacu oleh pengusaha-pengusaha seperti itu," katanya usai Pelatihan Melati Dewasa Pengurus Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah di Boyolali, Selasa (27/12).

Menurut dia, kasus kekerasan seperti di Bima sungguh sangat memprihatinkan dan menyedihkan. Pihaknya menyatakan tidak habis pikir karena kasus serupa sering terjadi. "Sementara tidak ada langkah nyata efektif dari pemerintah, terkesan seperti kelihatan tidak ada masalah," katanya.

Ia menyebut melihat kepolisian bermain api seperti kasus tersebut sehingga akan memunculkan bara dan kepolisian akan kesulitan untuk menanganinya. "Kita saksikan di Bima, jelas sekali dan langkah polisi seharusnya tidak demikian. Polisi seharusnya tetap pada slogannya yakni melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat," katanya.

Pihaknya mengharapkan, ada perubahan paradigma kepolisian dalam melaksanakan tugas. Ia mengatakan, reformasi mutlak perlu dikenal oleh polisi untuk menghadapi masyarakat.

Ia mengemukakan, masih sering terjadi kasus kekerasan tersebut juga ada tali-temali dengan kebijakan nasional yang membuka peluang kapitalisme luar dan dalam negeri.

Terutama, katanya, terkait dengan mereka yang menguasai sumber daya alam yang kaya raya di negara ini. Sumber daya alam (SDA) itu, kata dia, saat ini sudah dikuasai dan dijarah oleh penjajah.

Ia mengatakan, SDA yang strategis seperti minyak, gas, batu bara, dan emas hanya menguntungkan pihak investor asing, sedangkan pemerintah memiliki slogan prorakyat dan lingkungan hidup.

Kejadian di Bima, Nusa Tenggara Barat, katanya, ada ribuan masyarakat menyampaikan perasaan agar pemberian izin kepada perusahaan asing ditinjau.

Ia mengatakan, mereka memiliki alasan cukup bagus yakni kekhawatiran operasional perusahaan tersebut akan merusak lingkungan hidup.

Meskipun perusahaan pertambangan tersebut memiliki analisa dampak lingkungan, katanya, masyarakat Bima tetap khawatir seperti yang terjadi terhadap masyarakat di daerah bagian barat Sumbawa.

"Masyarakat sudah putus asa dengan kasus itu, sehingga mereka menduduki pelabuhan. Saya menganggap kasus di Bima pelanggaran HAM berat," katanya.

Pihaknya meminta kasus tersebut diusut tuntas dengan siapa yang salah harus diproses hukum, sedangkan pemerintah daerah setempat juga harus memberikan ruang untuk dialog.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement