REPUBLIKA.CO.ID, CIPUTAT - Sebagian besar perusahaan pers di Indonesia alergi terhadap serikat pekerja pers. Menurut General Manager Multimedia Perum LKBN ANTARA, Adi Lazuardi, pemimpin media atau media besar memang paling keras teriak kebebasan pers tetapi paling keras membunuh serikat pekerja.
"Malaysia, yang belum berkembang kebebasan pers-nya, ternyata sangat menghargai para pekerja pers. Serikat pekerjanya sangat aktif dan sangat diperhatikan. Sebaliknya, media di Indonesia seperti alergi bahkan anti terhadap serikat pekerja," ujar Adi dalam Seminar Nasional 'Globalisasi Media Massa Dalam Rangka Mengawal Demokrasi Setelah Reformasi,' Selasa (20/12).
Alergi disini, ujarnya, hak-hak pekerja Pers tidak diawasi dan diterima sebagaimana mestinya. "Alangkah baiknya jika Pers memiliki serikat pekerja," ujarnya.
Menurutnya, berdasar data Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) mencatat, kini ada 1.076 perusahaan media cetak, 1.248 stasiun radio, dan 79 stasiun televisi, termasuk 176 stasiun tv yang masih berjuang mendapatkan izin.
"Dari jumlah itu, hanya 30 perusahaan media yang sudah memilki serikat pekerja," ujarnya. Padahal, dengan bergabung dengan serikat pekerja media, wartawan bisa ikut memperjuangkan perusahaan yang berada dalam kondisi tak sehat.
Lebih lanjut, jurnalis Indonesia juga masih harus bergelut terhadap perlindungan dirinya. Baik perlindungan terhadap kekerasan, maupun rendahnya kesejahteraan yang diterima. "Tahun 2010, ada 66 kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia, mulai dari ancaman, siksaan, hingga pembunuhan," ujarnya.
Pers-pers besar juga, ujar Adi, disinyalir membunuh perusahaan media baru dan kecil. "Agen-agen koran misalnya, ketika datang media kecil yang ingin mengembangkan pemasaran, diancam media besar agar tidak menjual koran kecil tersebut. Ini yang mesti dihentikan," ujarnya.
Di sisi lain, menurut Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, sekalipun Indonesia sudah mengalami zaman emas kebebasan pers, terdapat kendala dan tantangan untuk menegakkan prinsip pers yang bebas.
Beberapa tantangan itu, ujar Ray, yakni adanya data yang tidak tersedia, banyak informasi yang masih ditutup-tutupi dengan alasan kerahasian negara, ancaman atau intimidasi terhadap para jurnalis, bahwa pada tingkat tertentu terjadi pembunuhan.
"Bahkan, media mengalami realitas baru yakni keberpihakan media dan terjun di dunia politik," ujar Ray.
Kekhawatiran muncul akan rapuhnya indepedensi media, atau dalam bahasa lain, media dikhawatirkan akan menjadi corong kelompok atau penguasa tertentu. "Sebenarnya keberpihakan media terhadap kelompok tertentu sah-sah saja, asalkan tidak menjadi bentuk diskriminasi. Misalnya black campaigne ketika pemilu," ujarnya.
Oleh karena itu, agar media sustainable atau bertahan lama dan tidak hanya angin lalu, ujar Ray, media tersebut harus mampu bernegosiasi dengan publik. "Bernegosiasi dengan publik dalam artian media berpihak kepada kebenaran dan kepentingan publik," ujarnya.
Kadiv Humas Mabes Polri, S. Usman Nasution juga mengharapkan media dan institusi pemerintah dapat sejalan. "Pers memang jadi kontrol sosial yang diharapkan mampu sejalan menjalankan hakekat demokrasi," ujarnya.