REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Indonesian Corruption Watch (ICW) melaporkan perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia ke Departemen Kehakiman atau Depkeh (DOJ/Departement of Justice) Amerika Serikat, karena melanggar undang undang penyuapan bagi perusahaan AS di luar negeri.
"Kami sedang merumuskan laporannya dan akan kami laporkan dalam 1-2 bulan mendatang," kata Wakil Koordinator ICW Adnan Topan Husodo di sela-sela seminar nasional 'Menuju Indonesia Baru Tanpa Korupsi' yang digelar BEM Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS), Kamis (15/12).
Menurut dia, undang-undang AS mengatur bahwa perusahaan AS itu tidak boleh melakukan penyuapan di lokasi berdirinya perusahaan AS itu di negara lain, karena itu ICW meyakini Freeport akan dijatuhi sanksi terkait aliran dana sebesar 79,1 juta dolar AS atau setara Rp711 miliar kepada Polri (2001-2010).
"Kasus serupa sudah pernah dialami Siemens (perusahaan dunia asal Jerman) dan Siemens akhirnya dinyatakan telah melakukan pelanggaran, sehingga perusahaan itu dijatuhi denda. Jadi, saya yakin laporan ICW akan direspon dengan baik oleh Depkeh AS," katanya.
Apalagi, katanya, KPK menemukan 70 persen dari 8.800 kontrak pertambangan asing itu bermasalah, di antaranya nomer kontrak pertambangan yang dimiliki ganda, laporan kontrak yang tidak jujur, dan sebagainya.
"Misalnya, sejumlah data yang ada melaporkan Freeport itu melakukan pelaporan kontrak pertambangan secara tidak jujur, karena kontrak pertambangan yang diizinkan untuk emas, tapi dia juga menambang tembaga, dan sebagainya, sehingga menyalahi kontrak yang ada," katanya.
Terkait aliran dana sebesar 79,1 juta dolar AS atau setara Rp711 miliar dari Freeport kepada Polri selama kurun 2001-2010 itu, Freeport dan Polri sama-sama tidak layak melakukan hal itu, meski dana itu dikatakan sebagai "sumbangan sukarela tanpa tekanan".
"Kalau pun dikatakan hibah dari Freeport, maka hal itu tidak layak diberikan kepada Polri, melainkan 'dana keamanan' itu harus diberikan kepada negara atau masuk kas negara (APBN), karena Polri sebagai institusi negara itu dibiayai APBN, bukan dibiayai institusi swasta," katanya.
Secara yuridis, katanya, bila Polri menerima "dana" bukan dari APBN, maka Polri dapat dikatakan menerima gratifikasi (suap), namun pemerintah juga harus konsisten untuk memberi dana tambahan bagi Polri yang bertugas di wilayah terpencil seperti itu.
"Masalahnya, kalau Polri dibiarkan menerima 'dana keamanan' dari institusi swasta seperti Freeport, maka Polri tidak akan independen, sebab kalau ada masalah antara Freeport dengan masyarakat, maka Polri akan cenderung membela Freeport, sehingga banyak korban berjatuhan di kalangan masyarakat," katanya.
Senada dengan itu, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Dede Rachim yang juga pembicara dalam seminar itu menegaskan bahwa pemerintah harus melakukan perubahan mekanisme gaji bagi PNS agar kasus Polri di Papua itu tidak terulang.
"Kalau memang Polri ditugaskan di Papua, tentu pemerintah harus memikirkan urusan teknis di sana. Pemerintah juga jangan takut memberi gaji tinggi kepada PNS yang akan berdampak pada pensiun yang tinggi, sebab sistem pensiun dapat diberikan hanya sekali sebanyak puluhan/ratusan juta agar tidak membebani," katanya.