Senin 28 Nov 2011 14:19 WIB

Abraham Samad:Pimpinan KPK tak Boleh Sering Bicara kepada Publik

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Fit and proper test calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali dimulai Senin (28/11).

Sebelumnya, proses pemilihan pimpinan KPK sempat tertunda selama lebih kurang satu minggu karena adanya kejanggalan pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LKHPN) para capim.

Proses fit and proper test dimulai dengan melanjutkan wawancara terhadap Abraham Samad yang sebelumnya sempat tertunda di tengah jalan. Anggota dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo mempertanyakan apakah pantas internal KPK menjelaskan ke publik proses penyidikan suatu kasus. Sebagai contoh, Bambang menyebut pengungkapan penyidikan kasus M Nazaruddin.

Menanggapi hal ini, Samad mengatakan, aparat penegak hukum, seperti hakim dan pimpinan KPK, seharusnya lebih banyak bekerja, bukan malah banyak bicara ke publik. ‘’KPK dan hakim tidak boleh sering tampil di televisi untuk mempopulerkan dirinya. Dia harus diam. Karena karakter penegak hukum adalah orang-orang yang tidak boleh memberi suara ke publik,’’ katanya di hadapan anggota Komisi III DPR RI, di Jakarta, Senin (28/11)

Pernyataan tersebut merujuk kepada Ketua KPK Busyro Muqoddas dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang kerap melontarkan kritik di media mengenai berbagai hal. Termasuk mengenai pejabat yang bersikap hedon dan jual beli pasal.

Samad juga mengkritik pernyataan Busyro mengenai adanya anggota DPR yang ditetapkan tersangka terkait kasus suap wisma Atlet SEA Games. Ia menilai, tindakan tersebut dapat mengganggu proses penyidikan seperti melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. ‘’Itu salah, itu bukan penegak hukum. Itu orang yang mau main sinetron,’’ ujar Samad.

Pimpinan KPK, ujarnya, tidak perlu harus populer. Tindakannya yang harus bisa popular di masyarakat. Ini bisa terlihat dari sikap pimpinan KPK yang kalau mau menetapkan tersangka tak perlu menyampaikan ke publik. ‘’Langsung saja panggil ke kantor. Kalau memang memenuhi syarat, tetapkan jadi tersangka pada saat itu juga,’’ papar dia.

Menjawab pertanyaan mengenai korupsi di parlemen, Samad mengatakan, tidak boleh ada generalisasi dan delegitimasi lembaga hukum di negara ini. ‘’KPK boleh saja menangkap anggota legislatif, tapi tak boleh mendelegitimasi. Tak boleh ada penciptaaan opini seolah-olah anggota legislasi korupsi semua. Suka atau tidak suka, DPR merupakan mitra KPK dalam melakukan pengawasan,’’ ujarnya.

Sebagai tindakan pencegahan, lanjutnya, harus melalui supervisi. Ini terkait fungsi DPR yang sebatas perencanaan, bukan pengelolaan keuangan. Makanya, harus ada pengarahan mengenai penyusunan anggaran keuangan yang baik sehingga tak ada kebocoran.

Samad juga menekankan mengenai tindakan korupsi yang terjadi antara pejabat negara dan pengusaha. Ia menilai, undang-undang yang ada ada sekarnag ini tak bisa menjangkau lebih jauh untuk korupsi di sektor swasta. Makanya, undang-undang tersebut selalu berbicara mengenai kerugian negara.

‘’Kita susah menjangkau swasta. Yang kita harapkan ketika amandemen undang-undang KPK itu bisa masuk sebagai komitmen,’’ paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement