REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada rapat pansus RUU Pemilu dengan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, kemarin (23/11), Partai Golkar mengusulkan agar pelaksanaan pemilu dilaksanakan secara serentak. Yaitu, dengan menggabungkan pemilihan presiden, DPR, dan DPD dalam satu tahapan pemilu. Baru kemudian dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah dan DPRD.
Menanggapi hal ini, Ramlan Surbakti dari Kemitraan mengatakan, pelaksanaan pemungutan suara secara bersamaan merupakan salah satu cara untuk membuat pemilu yang efisien dan efektif.
"Saran kami, pemilu nasional dipisah dari pemilu lokal. Untuk pemilu nasional mencakup pemilihan presiden, DPR, dan DPD, dan dilakukan secara bersamaan. Dua tahun kemudian, baru kepala daerah dan DPRD. Dilakukan bersamaan juga," katanya dalam Bicang Politik Republika bertema ‘Menuju Sistem Pemilu yang Ideal’, di Jakarta, Kamis (24/11).
Dengan begitu, ujarnya, pemilih hanya dua kali memberikan suara dalam kurun waktu lima tahun. Cara ini pun dapat menjadi mekanisme untuk mengevaluasi pemilu. Artinya, jika rakyat memilih partai A di tingkat nasional dan kemudian ternyata partai tersebut tidak dapat menepati janjinya, maka pemilih dapat pindah ke partai lain pada pemilihan daerah.
Ini pun menjadi cara efektif untuk meningkatkan peran partai politik yang selama ini hanya berfungsi sebagai kendaraan untuk mencari kursi kekuasaan. Pasalnya, partai politik akan berupaya mencari simpati kepercayaan pemilih.
"Dengan cara kompetitif, partai akan menempatkan diri di akar rumput. Partai yang sentralistik pun pelan-pelan akan berubah. Akan mendengarkan konstituen," lanjut mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut.
Cara ini pun bisa meningkatkan akuntabilitas partai. Sehingga partai selalu dalam radar penilaian masyarakat. Memang, lanjutnya, tak dengan sendirinya cara ini akan meningkatkan kedaulatan masyarakat. Namun juga harus disertai dengan pendidikan politik yang baik, karena kualitas pemilih sangat menentukan.
Selama ini, kata Ramlan, masyarakat tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap anggota legislatif ataupun eksekutif yang dipilihnya. Ini diperparah dengan praktik jual beli suara yang banyak terjadi. Makanya, banyak pilihan konstituen yang setelah menduduki jabatan publik malah memperjuangkan kepentingan pribadi atau pun partainya saja. Tak pernah mendengarkan apa yang menjadi aspirasi konstituen.