REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberlakuan sepuluh tahun otonomi khusus di Papua belum memenuhi hasil gamblang dalam mengurangi angka kemiskinan. Puluhan triliun anggaran yang telah digelontorkan di daerah tersebut tak setimpal dengan hasil yang didapat.
"Belum ada perubahan signifikan melihat pembangunan ekonomi yang ada,"ujar Ekonom UGM, Sri Adianingsih, ketika dihubungi Republika, Senin (21/11) malam.
Misalkan, kata Sri, jika mengacu dari share ekonomi. Papua hanya berkontribusi sekitar 1,8 persen. Mengalami peningkatan sedikit jika dibandingkan dengan tahun 2004 lalu sebesar 1,42 persen.
Kemudian dari angka kemiskinanya juga cukup besar. Pada 2010 lalu masih sebesar 30 persen. Secara umum Papua belum bisa memanfaatkan otonomi khusus untuk bisa memajukan daerah,"terangnya.
Ada beberapa kemungkinan penyebab, menurut dia, salah satunya permasalahan sumberdaya manusia. Kualitas SDM yang kurang bagus, imbuhnya, membuat anggaran yang cukup besar tidak bisa digunakan dengan baik.
Anggaran yang seharusnya dipakai untuk membangun infrastruktur, ujarnya, pada kenyataannya dipergunakan untuk hal-hal yang konsumstif, sebut saja untuk membangun rumah atau kantor dinas pemerintah. "Seharusnya infrastruktur ini yang perlu didorong,"terangnya.
Namun, ia mengatakan kesalahan tidak bisa hanya ditumpukan kepada Pemerintah pusat. Pasalnya persoalan ini juga sangat dipengaruhi oleh pemerintah daerah mengingat penggunaan anggaran itu dikelola Pemerintah Daerah Papua. "Tanpa pengelolaan serius, pembangunan di Papua dan Papua Barat sulit dicapai,"terangnya.