REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akan mendukung pengembangan energi ramah lingkungan seperti pembangkit listrik tenaga surya, air, angin, termasuk biogas sebagai alternatif pengganti elpiji.
"Paling penting kalau pembangkit itu minim gas CO2, tentu akan kami dukung pengembangannya," kata Staf Ahli Kementerian LH bidang Energi Bersih dan Terbarukan, Yanuardi Rasudin di Jakarta, Ahad (6/11).
Yanuardi menyatakan dukungan tersebut sebagai upaya nyata pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap energi tak terbarukan seperti minyak & gas bumi, menekan kadar emisi gas karbon dan yang terpenting menjadi solusi mengatasi krisis pasokan energi di Indonesia.
"Aktifitas Go Green tidak semata menanam pohon semata, tentunya termasuk pengembangan teknologi energi alternatif yang efisien, tepat guna dan mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari," paparnya.
Saat ini, Kementerian LH melalui prakarsa Bupati Bantul bersama dengan kalangan perguruan tinggi tengah mengembangkan desa energi melalui pengadaan unit pembangkit listrik tenaga biogas.
"Kebetulan di Bantul banyak masyarakat yang memelihara hewan ternak agar tidak menimbulkan polusi kotoran hewan ternak diolah menjadi gas metan yang dapat menghasilkan pasokan listrik. Gas yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk memasak," ujar dia.
Kementerian LH membuka peluang untuk bekerja sama dengan berbagai institusi lainnya agar pengembangan penerapan teknologi sederhana tersebut bisa lebih massif.
"Kerja sama biasanya akan dilaksanakan melalui fasilitasi Ditjen Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan untuk kemudian dikoordinasikan melalui Kementerian ESDM dan LH," paparnya.
Kementrian ESDM tentunya peduli terhadap outcome (hasil akhir) energi yang dihasilkan, sedangkan Kementerian LH melihat berapa karbon dan polusi yang dihasilkan, jelas dia.
Selain pembangkit listrik tenaga biogas, KLH juga bekerjasama dengan LIPI dan BPPT, tengah mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin. Saat ini telah dibangun 50 tower kincir angin yang dibangun di sejumlah daerah.
Selain dengan instansi pemerintah, Yanuardi berharap kalangan perguruan tinggi dapat menjadi mitra kerja untuk menghitung efisiensi pemanfaatan energi terbarukan di daerah.
"Harus diingat infrastruktur energi terbarukan seperti sinar matahari masih sangat mahal, sehingga memang harus ada perhitungan matang sebelum mengaplikasikan," ujar dia.
Dia mencontohkan, panel surya saat ini harganya masih sangat mahal padahal untuk iklim tropis seperti Indonesia, panel tersebut sangat dibutuhkan.
"Sudah ada hitung-hitungan untuk membangun pabrik panel surya di Indonesia diharapkan dapat ditangkap kalangan BUMN untuk membangunnya karena peminatnya sangat banyak," ujar dia.
Upaya Kementerian LH dalam mengembangkan energi alternatif tersebut, disambut positif Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta P. Wiryono Priyotamtama. Terlebih, sejak empat tahun lalu melalui Pusat Studi Lingkungan (PSL), Sanata Dharma konsisten mengembangkan teknologi energi alternatif sederhana dan ramah lingkungan. Mulai dari mengembangkan kincir angin sebagai sumber energi listrik, pengolahan kotoran menjadi biogas pengganti elpiji serta memanfaatkan sampah menjadi pupuk.
Semua teknologi tersebut, diaplikasikan Universitas Sanata Dharma sebagai wujud partisipasi dalam memberdayakan penduduk di kawasan minus. Contohnya seperti pasokan listrik dari pembangkit listrik sederhana kincir angin, yang kini bisa dinikmati sejumlah warga desa di Pantai Drini, Yogyakarta, serta penerapan teknologi pengolahan kotoran sapi menjadi biogas di Temanggung, Bojonegoro, dan Gunung Kidul.
Kini, sejumlah warga desa di berbagai daerah tersebut boleh dibilang tidak lagi tergantung pada pasokan listrik dari PLN, maupun makin mahalnya harga gas elpiji.
Wiryono mengatakan, perguruan tinggi yang dipimpinnya saat ini memilih fokus di bidang lingkungan dengan menjadikan Sanata Dharma sebagai Ecological Campus. Hal itu karena bidang Ekologi memiliki pengaruh luas di seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Untuk mewujudkan Ecological Campus, selain mendirikan PSL, sejak 2008, Universitas Sanata Dharma mendirikan Fakultas Pendidikan Biologi yang concern terhadap penelitian masalah lingkungan.
"Kemampuan di bidang ekologi diharapkan mampu diserap oleh mahasiswa. Begitu lulus dan mengabdi di masyarakat, lulusan Sanata Dharma harus mengembangkan pengetahuan soal ekologi tersebut kepada masyarakat. Cara ini diperkirakan akan mempercepat kesadaran
mengenai ekologi," ungkap Wiryono.
Pusat Studi Lingkungan Sanata Dharma juga melibatkan seluruh dosen dan peneliti dari bidang lain. Seperti dari antropologi, ekonomi, kimia dan lain-lain yang tertarik dan peduli terhadap bidang lingkungan, termasuk dari dosen Biologi sendiri.
Berbagai program PSL menurut Wiryono, sejalan dengan misi Yayasan Sanata Dharma yakni kesadaran lingkungan di masyarakat untuk membangun lingkungan yang lebih baik. Kemudian, mempromosikan energi yang terbarukan, memperkenalkan teknologi tepat guna yang dapat diaplikasikan.
Untuk mewujudkannya, Universitas Sanata Dharma turut menggandeng pelaku usaha dan lembaga swadaya masyarakat agar program dapat terus berjalan.
"Tidak hanya itu, Sanata Dharma Yogyakarta juga menggandeng pemerintah (pemegang kebijjakan) agar terjalin sinergi yang maksimal," ujar dia.