REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Industri rokok meminta pengesahan UU Nomor 36 tahun 2009 tidak mematikan hak komersial industri rokok. "Kami menghargai putusan yang telah diberikan, tapi jangan sampai menghalangi komunikasi antara produsen rokok dengan publik," kata juru bicara Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (Gapri), Hasan Aony Aziz, Rabu (2/11).
Berdasarkan data Gapri, jumlah tenaga kerja yang bergerak di industri rokok sekitar 6,1 juta jiwa. Sementara itu, jumlah tenaga kerja yang secara tidak langsung terkait dengan industri ini berjumlah 33,2 juta jiwa.
Ia menilai UU ini berpotensi mematikan industri rokok terutama menengah ke bawah. "Angka ini (pekerja) akan menurun signifikan dengan penurunan pada industri ini," katanya.
Ia berujar adanya kewajiban menggambar akibat merokok pada bungkus rokok bakal membebani industri rokok menengah kecil. Masalahnya ada periode pergantian gambar yang harus dilakukan. "Nah kita belum tahu ini berapa periode," katanya. Selain membutuhkan biaya tambahan hal ini juga membuat industri harus melakukan edukasi tambahan apakah rokok yang dipasarkan asli atau palsu.
Ia pun mensinyalir ada upaya untuk menumpang pemasaran tentang informasi kesehatan di sebuah produk. "Kegagalan direct pada saat mengiklan dilimpahkan kepada industri yang difitnah sebagai sumber penyakit," ujarnya.
Padahal, menurutnya sumber penyakit tidak tunggal. Ia mengaku terdapat generalisasi dan kriminalisasi terhadap rokok.
Ia merasa dengan PP ini saja sebetulnya permasalahan rokok ini sudah cukup. "AS dan Jerman saja belum ada undang-undang yang pakai gambar seperni ini. Ini akan merampas hak-hak industri," katanya lagi.