Kamis 27 Oct 2011 12:18 WIB

Pemerintah Tutup Peluang Politik Dinasti

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merancang aturan agar politik dinasti di Indonesia tidak terjadi lagi seperti sekarang. Aturan itu dituangkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang menghasilkan RUU Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada).

Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, keluarga inti kepala daerah tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon gubernur, maupun bupati atau wali kota. Keluarga inti yang dimaksud adalah suami atau istri, dan anak.

Menurut Djohermansyah, bila ada salah satu anggota keluarga masih menjabat kepala daerah, maka butuh satu periode lagi untuk bisa maju sebagai calon kepala daerah. Dikatakannya, alasan penghapusan dinasti politik agar sistem pemerintahan tidak dikuasai kelompok atau keluarga tertentu.

Aturan itu juga untuk menciptakan harmonisasi pemerintahan dan mencegah kepala daerah berikutnya melindungi kepala daerah sebelumnya yang terlibat kasus hukum. RUU Pilkada sudah diserahkan ke Presiden SBY dan mulai dibahas awal tahun depan, serta ditargetkan pertengahan 2012 bisa diparpurnakan di DPR.

"Kami usulkan cutting off lima tahun. Politik dinasti dengan sendirinya terhapus jika aturan ini diterapkan," ujar Djohermansyah di sela dialog publik Menyongsong Lahirnya UU Pemilihan Kepala Daerah di Jakarta, Kamis (27/10).

Dalam RUU Pilkada, kata dia, dicantumkan syarat moral agar calon kepala daerah yang pernah menjabat dua periode tidak bisa mencalonkan sebagai calon wakil bupati/wali kota. Hal itu untuk mengunci agar kandidat tidak bisa menyiasati aturan seperti yang terjadi selama ini.

Dalam draft RUU Pilkada, kata Djohermansyah, gubernur dipilih DPRD provinsi dan wakilnya ditunjuk dari birokrat dengan pangkat minimal IB. Adapun, untuk pemilihan bupati/wali kota tetap menggunakan mekanisme dipilih langsung, sehingga memungkinkan calon independen maju. Namun, untuk posisi wakil gubernur atau wakil bupati/wali kota jumlahnya bisa lebih dari satu, tergantung jumlah penduduk.

Djohermansyah menyontohkan, provinsi di atas 10 juta bisa memiliki dua wakil gubernur, sementara kabupaten/kotamadya berpenduduk di atas 5 juta bisa memiliki dua wakil bupati/wali kota. Adapun kabupaten/kotamadya berpenduduk di bawah 100 ribu, tidak perlu memiliki wakil bupati/wali kota.

"Semuanya diatur sesuai beban pemerintahan dan permasalahan terkini di masyarakat," katanya.

Khusus pemilihan gubernur (pilgub) melalui pemilihan DPRD, lanjut Djohermansyah, bisa dimulai pada 2013 di Jawa Barat atau Jawa Tengah. Dua daerah itu menjadi pilot project program efisiensi pilkada. Meski menimbulkan pro kontra, pilihan penghapusan pilgub langsung sangat realistis jika mengingat gubernur adalah wakil pemerintah di daerah.

Sehingga tidak perlu pemilihan langsung yang memboroskan anggaran. "Ini murni demi penghematan anggaran dan perbaikan tata pemerintahan," jelas Djohermansyah.

Anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain setuju dengan pembuatan aturan baru terkait pilkada maupun pilpres jika alasannya efisiensi anggaran. Untuk pemilihan wakil kepala daerah juga lebih baik ditunjuk agar tidak muncul konflik. "Demi kebaikan bersama kita dukung agar tidak terulang konflik antara kepala daerah dengan wakilnya," kata politikus PKB itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement