REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Prinsip-prinsip kebangsaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dinilai belum dipraktikan secara bersama di masyarakat. Bahkan, banyak yang melakukan interpretasi individual terhadap hakikat nasionalisme.
"Akibatnya, tak jarang kita temukan ada interpretasi menyimpang dari pemaknaan nasionalisme," ungkap Menko Perekonomian, Hatta Rajas, Senin (10/10), di Jakarta.
Nasionalisme, jelas Hatta, masih sering dianggap hanya sebagai retorika idiologi politik yang tak mendatangkan perubahan, tak membawa kemajuan, dan tak melahirkan kesejahteraan. Banyak yang menilai nasionalisme hanya pantas dikaji di ruang seminar dan ruang perkuliahan. Karena itu, nasionalisme berada di ruang hampa dan menjadi sulit dibumikan dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya.
"Pemaknaan nasionalisme semacam itu adalah pemahaman yang sempit yang perlu segera diluruskan. Bagaimana nasionalisme kita maknai agar memiliki daya wujud yang nyata di dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita? Kita paham makna sederhana dari nasionalisme adalah paham, aliran, pendirian, atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dengan cara mewujudkan cita-cita nasional yang telah disepakati," tuturnya.
Paham kebangsaan, terangnya, seluruh komponen bangsa adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jika satu komponennya menderita, maka semua komponen yang lain turut menderita. Begitu pula sebaliknya. "Maka, sudah sepatutnya satu komponen dengan komponen lainnya saling mencintai dan mengasihi. Anugerah sumberdaya alam yang disediakan Allah SWT haruslah dinikmati bersama tanpa memandang suku, etnik, daerah maupun agama."
Hatta kemudian menegaskan menjadi 'Bangsa Indonesia' tak lain menjalani transformasi identitas yang rumit; dari yang banyak menjadi satu; dari yang lama menjadi baru; dari etnik menjadi nasional.
Karena itu, sebagai sebuah konsep, 'Bangsa Indonesia' adalah sebuah konstruksi politik yang eksistensinya ditentukan oleh kesadaran, sentimen, emosi, rasa; bukan oleh sesuatu yang bersifat empirik, fisik, self-evident, atau badaniah.
Hatta berpandangan, berubah, dalam maknanya yang terwakili konsep change and continuity, adalah sesuatu yang fitrahnya melekat dalam eksistensi dan perkembangan bangsa-bangsa. Bangsa-bangsa yang unggul di masing-masing jamannya, ditegaskan Hatta, menceritakan satu cerita yang sama dan berulang. Hanya bangsa-bangsa yang berhasil melakukan adaptasi dan sekaligus transformasi sajalah yang menjadi unggul.
"Pengabaian terhadap prinsip-prinsip fundamental ini dapat mengakibatkan muncul dan berkembangnya ketidak-harmonisan yang bisa berujung pada disintegrasi nasional," ujarnya.