REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom senior Econit, Hendri Saparaini, menilai pelaksanaan reshuffle kabinet dilakukan tanpa tolok ukur jelas.
Menurut Saparini, langkah evaluasi menteri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilakukan secara tiba-tiba tanpa pernah memberikan surat peringatan (SP) terlebih dulu. "Harusnya menteri itu diberi SP dulu jika kinerjanya buruk, tidak langsung di reshuffle," kata Saparini usai diskusi di Rumah Perubahan, Jakarta, Selasa (27/9).
Oleh sebab itu, kata dia, bongkar pasang kabinet tidak akan bermakna jika paradigma pemimpin negeri ini tidak berubah. "Sebanyak apa pun jumlah menteri yang diganti, sepanjang kriteria penilaian Presiden SBY terhadap jajarannya tak berubah, maka tidak ada perubahan," sindirnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara, mengatakan sepanjang kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, reshuffle tidak berdampak pada rakyat.
Intinya, kata dia, letak evaluasi itu harus dimulai dari pemimpin itu sendiri. "Selama tindakan Presiden hanya berorientasi kepada citra, rencana reshuffle hanya baik di permukaan. Itu sama saja dengan isapan jempol."