Senin 19 Sep 2011 18:41 WIB

MK Kabulkan Dua Permohonan Uji Materi UU

Rep: c13/ Red: cr01
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD (tengah) memimpin sidang uji materiil di MK.
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD (tengah) memimpin sidang uji materiil di MK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan dua permohonan uji materi, yakni Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Pasal 21 dan 47 Ayat (1) dan (2) dan Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 155 ayat (2).

Pemohon UU Perkebunan adalah empat orang petani, yakni Japin, Vitalis, Andi, Ngatimin alias Keling dengan kuasa pemohon, Indriaswati Dyah Saptaningrum. Sementara, pemohon UU Ketenagakerjaan adalah Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, yakni Ugan Gandar, Eko Wahyu, Rommel Anonius, dan Ginting dengan kuasa pemohon, Ecoline Situmorang.

Menurut Mahfud, dalam pemohonan UU Perkebunan terkait Pasal 21 dan 47, bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan. Pasal 21 berbunyi, "Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggungnya usaha perkebunan.”

Pasal 21 mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Hak tersebut meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang dilindungi UU Nomor 5 Tahun 1960 jo PP Nomor 40 Tahun 1996 dan PP Nomor 24 Tahun 1997.

Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar unsur-unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya.

Sedangkan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu selaku korban PHK menguji Pasal 155 ayat (2) yang mengatur upah proses PHK. Pasal itu menyatakan selama putusan PHI belum ditetapkan, khusus perselisihan PHK dan hak, baik pengusaha dan pekerjanya tetap melaksanakan hak dan kewajibannya.

Aturan itu dalam praktiknya dinilai multitafsir. Sebab, ada yang berpendapat upah proses PHK dibayar hanya enam bulan gaji, ada juga yang menafsirkan upah proses dibayar hanya sampai keluarnya putusan PHI, dan upah proses dibayar hingga keluarnya putusan kasasi/PK di MA.

Menurut pemohon, tidak adanya penafsiran yang tegas terhadap Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, khususnya terhadap frasa ”belum ditetapkan”, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan dilanggarnya hak atas rasa adil bagi para pekerja. Terlebih, pemohon I yang anggotanya hampir seluruh karyawan Pertamina.

Karena itu, pemohon meminta tafsir konstitusional atas pasal itu karena selama ini penerapannya menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2) UUD 1945. Dalam arti, Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan konstitusional dengan Pasal 28D (1), (2) UUD 1945 sepanjang frasa “belum ditetapkan” ditafsirkan sampai putusan PHI mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement