REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan yang diajukan oleh empat pemohon yakni Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin, yang merupakan para petani.
"Mengabulkan permohonan para pemohon," ujar anggota Hakim MK, Harjono saat membaca putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin.
Ia mengatakan, Pasal 21 beserta penjelasannya, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
MK juga memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Putusan tersebut disetujui oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, M Akil Mochtar, dan Muhammad Alim.
"Dalam pemohonan UU Perkebunan terkait Pasal 21 dan 47, bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan," kata Mahfud.
Pasal 21 mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Hak tersebut meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang dilindungi UU Nomor 5 Tahun 1960 jo PP Nomor 40 Tahun 1996 dan PP Nomor 24 Tahun 1997.
Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis siapapun yang melanggar unsur-unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya.
Para pemohon menggugat bahwa kedua pasal yang diajukan tersebut, yang berbunyi "melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan", dirumuskan secara samar-samar, tidak jelas, dan tidak rinci mengenai perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidan, serta pengertiannya terlalu luas dan rumit.
Hal ini mengakibatkan setiap upaya dan usaha yang dilakukan oleh setiap orang dalam mempertahankan dan memperjuangkan haknya dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang dimaksud oleh pasal tersebut.
Menurut salah satu ahli yang diajukan pemohon, Hermansyah, Pasal 21 dan Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 dapat menjadi sarana bagi pihak perkebunan untuk mempertahankan haknya dengan mengabaikan hak masyarakat adat yang secara konstitusional.