REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Presiden sebagai pemimpin tertinggi negara boleh ikut campur dalam penegakan hukum, tetapi bukan berarti intervensi, kata Ketua Mahkamah Konsitusi Mahfud MD.
"Hal itu sangat penting karena demokrasi di Indonesia berdiri di atas tiga pilar, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Yudikatif bertumpu kepada presiden yang menjadi representasi eksekutif," katanya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu.
Usai menjadi pembicara dalam peluncuran dan diskusi buku karya Denny Indrayana berjudul "Indonesia Optimis", ia mengatakan, ikut campur kepala negara berbeda dengan intervensi.
"Campur tangan presiden terkait dengan persoalan hukum yang mengalami kebuntuan. Campur tangan presiden itu tetap mengedepankan prinsip hukum seperti etika, moral, dan keadilan," katanya.
Ia mengatakan, campur tangan presiden bertujuan mencari jalan keluar jika ada hal sangat penting dan membutuhkan keputusan segera. Dengan demikian, campur tangan presiden menjadi penting. "Dalam konteks itu, yang terpenting adalah prinsip keadilan harus dikedepankan," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.
Menurut dia, peradilan di Indonesia saat ini menunjukkan kemajuan terutama pada pemberantasan korupsi dibandingkan dengan masa sebelum reformasi. "Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada 2003, tetapi saat itu gaji belum jelas, kantor juga tidak jelas. Namun, setelah reformasi, KPK langsung diberikan kantor dan disuruh menangkap para pejabat yang korup, dan sejak saat itu lembaga tersebut mulai dikenal," katanya.