REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Pelaksanaan Otonomi Daerah (Otoda) yang dimaksudkan untuk memberi kewenangan penuh mengembangkan diri sesuai jati dirinya, dinilai gagal. Buktinya, dalama sepuluh tahun terakhir banyak warga desa yang tergiur merantau ke kota besar untuk mencari penghidpan lebih baik.
“Arus urbanisasi tidak berubah, meski otoda berjalan,” ujar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief di Jakarta, Sabtu (10/9).
Sugiri menerangkan, terdapat dua macam urbanisasi berdasarkan definisi atau pengertiannya. Pertama adalah bagaimana suatu desa dapat berubah menjadi kota, dengan pemekaran aset-aset desa dan infrastruktur yang dimiliki. Kedua adalah bagaimana orang dari desa berbondong-bondong pindah ke perkotaan.
Jika otoda diimplementasikan secara benar di tiap daerah, Sugiri menilai, seharusnya terdapat perbedaan cara pandang warga desa dalam menilai kota. Nyatanya, sejak otoda diterapkan percepatan urbanisasi masih terjadi karena tidak ada yang berubah di daerah.
Padahal, kata dia, otoda berpengaruh menekan perpindahan penduduk kalau dijalankan secara benar. Pasalnya tujuan pemekaran adalah pemberian wewenang penuh bagi daerah untuk melakukan percepatan bidang pendidikan dan infrastruktur.
Sayangnya, penerapan otoda hanya manis di tataran perencanaan. Alhasil, banyak penduduk desa justru semakin berlomba-lomba menjadi kaum urban perkotaan. “Sehingga segalnya dibuat memadai, menjadikan desa sebagai kota,” katanya. Dengan begitu, warga desa tidak tertarik untuk mencari pekerjaan ke kota.
Sugiri menilai, otoda malah memperlambat pengembangan desa menjadi kota. Hal itu mengingat pemekaran daerah hanya terfokus pada penyerahan kekuasaan dan pemberian kewenangan besar kepada daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri. Adapun kepala daerah tidak berpikir bagaimana meningkatkan pembangunan fasilitas infrasrtuktur dan pengembangan ekonomi pedesaan.