Rabu 03 Aug 2011 13:42 WIB

Penanganan Terorisme, 70 Persen Berkat Peran Intelijen

Serangan teror 11/9: awal perang melawan terorisme
Foto: dw-world
Serangan teror 11/9: awal perang melawan terorisme

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Deputi Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Tito Karnavian, menyebutkan sekitar 70-75 persen penanganan terorisme di Indonesia bergantung pada peran intelijen.

"Sekitar 20 persen, merupakan investigasi dan 5 persennya karena tindakan tegas yang dilakukan oleh Densus 88," kata Tito dalam seminar Penanggulangan Terorisme Guna Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Rangka Ketahanan Nasional di gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Jakarta, Rabu (3/8).

Menurut dia, terjadi dua pertempuran dalam penanganan terorisme. Pertama, pertempuran proses mengungkap dan menangkap pelaku dan kedua pertempuran membuktikan pelaku bersalah di pengadilan yang terbuka atau fair.

Di Indonesia, kata dia, dari 689 pelaku teroris yang tertangkap dan diajukan ke pengadilan, tidak satupun yang dilepaskan karena adanya bukti. Namun, kata dia, penurunan kualitas aksi terorisme menurun, sementara kuantitasnya meningkat.

Hal ini dilihat dari jumlah tersangka pelaku teroris yang tertangkap, yakni pada tahun 2003 sebanyak 93 orang dan bertambah menjadi 103 tersangka pada tahun 2010.

Menurut Tito, polisi dan pengamat awalnya mengira persoalan terorisme di Indonesia telah selesai pascapenangkapan ratusan tersangka teroris pada tahun 2005. Namun kenyataannya pada tahun 2009 membuat penegak hukum dan warga Indonesia terkaget dengan ledakan bom di Hotel Ritz Charlton.

"Permasalahan aksi teror di Indonesia belum selesai. Bahkan, terungkap pada 2010 ada pelatihan di Aceh dan 2011 ada serangan bom bunuh diri. Secara kualitas menurun tapi kuantitas meningkat," paparnya.

Penanganan terorisme melalui penegakan hukum tidak menyentuh akar permasalahan. Bila diibaratkan gunung es, penindakan terhadap pelaku teror hanya memotong bagian puncak tanpa menyentuh anggota yang membangun jaringan.

"Hal ini mengakibatkan jaringan terorisme dengan pemahaman ideologi terus berkembang. Sumber daya negara pun dinilai belum maksimal, seperti penggunaan militer dan inisiatif lintas sektoral," paparnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement